Senin, 09 Juni 2008

Ekonomi Islam

Telaah Terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 31/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pengalihan Hutang
oleh : Mardhiyah Hayati

MSI-UII.Net - 23/9/2005
Penulis adalah Mahasiswi Konsentrasi Ekonomi Islam
Magister Studi Islam Program Pascasarjana
Universitas Islam Indonesia (MSI PPs UII),
Yogyakarta Indonesia


A. Pendahuluan
Dalam Islam, manusia di wajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rizki guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah, sehingga rizki-Nya sangat luas. Bahkan Allah tidak memberikan rizkinya itu kepada kaum muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras.
Untuk memulai suatu usaha seperti itu diperlukan modal, seberapapun kecilnya. Adakalanya orang mendapatkan modal dari simpanannya atau dari keluarganya. Ada pula yang meminjam dari rekan-rekannya. Jika tidak tersedia, maka peran institusi keuangan menjadi sangat penting, karena dapat menyediakan modal bagi orang-orang yang ingin berusaha.
Bank adalah perantara keuangan masyarakat yaitu perantara dari mereka yang kelebihan uang dengan mereka yang kekuarangan uang. Kalau peranan ini berjalan baik barulah bank bisa dikatakan sukses. Jadi, bagaimana bank, melayani sebaik-baiknya mereka yang kelebihan uang dan menyimpan uangnya di dalam tabungan, deposito dan sebagainya serta melayani kebutuhan uang masyarakat melalui pemberian kredit.
Karena itu, semua servis bank kepada masyarakat, peralatan canggih yang dimiliki, ketrampilan personil dan lain-lainya, adalah dalam rangka menjalankan peranan sebagai perantara keuangan, artinya menjalankan dua fungsi utama bank, yaitu:
1. Menghimpun dana masyarakat (to receive deposits);
2. Memberikan kredit (to make loans).[1]
Dalam rangka pemberian kredit kepada nasabah maka Dewan Syari'ah nasional mengeluarkan fatwa No: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang pengalihan hutang, yang dimaksud dengan Pengalihan hutang ini adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah.

B. Pembahasan
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pengalihan Hutang
Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional tentang pengalihan hutang yaitu:[2]

Pertama: Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/ lembaga keuangan konvensional ke bank/ lembaga keuangan syariah;
2. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati;
3. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS.
4. Aset adalah asset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayaran kreditnya.

Kedua: Ketentuan Akad
Akad dapat dilakukan dengan empat alternatif berikut:
Alternatif I:
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah sepenuhnya.
2. Nasabah menjual asset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menjual secara murabahah asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qardh dan fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tantang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.

Alternatif II:
1. LKS membeli sebagian asset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.
2. Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan hutang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini.


Alternatif III:
1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas asset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/VI/2002.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2.
4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2.

Alternatif IV:
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara.
2. Nasabah menjual asset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.

Ketiga: Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Keputusan Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Yang menjadi pertimbangan utama dikeluarkannya fatwa ini adalah:[3]

a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah

b. bahwa lembaga keuangan syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya melalui akad pengalihan hutang oleh LKS

c. Bahwa agar akad tersebut dilaksanakan sesuai dengan syariah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk menjadi pedoman.

Mengingat: 1. Firman Allah SWT. QS. Al-Maidah (5: 1):
" Hai orang yang beriman ! Penuhilah aqad-aqad itu …"

2. Firman Allah SWT. QS. Al-Isra' (17): 34:

" …dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."

3. Firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2) :275

" …dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.."

4. Firman Allah SWT. QS. Al-Ma'idah (5): 2

"… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."

5. Firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2): 275 yang artinya:

" Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya"

6. Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda yang artinya:

"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. "

7. Hadits Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daruquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi saw bersabda:

"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."

8. Kaidah Fiqh:

a. Pada dasarnya, semua bentuk mu'amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya

b. Kesulitan dapat menarik kemudahan

c. Keperluan dapat menduduki posisi darurat"

d. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)"


C. Telaah Terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pengalihan Hutang
Bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu transaksi yang dijalankan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip an taraddin minkum, dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan. Identifikasi transaksi yang dilarang dalam Islam memberi gambaran bahwa bank konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Suatu hal yang menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi,[4] dan ketika masyarakat muslim di Indonesia mulai menyadari dan ingin memindahkan semua transaksi yang telah dilakukannya dengan bank konvesional, baik berupa tabungan, deposito dan utang ke perbankan syariah, maka bank syariah harus segera meresponnya. Jangan sampai orang yang sudah berniat baik untuk meninggalkan transaksi yang ribawi kembali terjerumus dalam transaksi itu lagi.
Masalah perbankan termasuk dalam muamalah, maka nabi Muhammad Saw, tentunya tidak memberikan aturan-aturan yang rinci mengenai masalah ini. Bukankah nabi sendiri telah menyatakan bahwa kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Al-Qur,an dan sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar, dan menegaskan larangan-larangan yang harus dijauhi. Dengan demikian, yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang dalam Islam. Selain itu, semua diperbolehkan dan kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas sebanyak mungkin.[5]
Dalam implementasinya, upaya pengembangan perbankan syariah memerlukan aturan-aturan syariah yang mengikat bagi perbankan syariah.[6] Dalam kaitan ini, fatwa yang terkait dengan perbankan syariah yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),[7] sangat bernilai dan berperan besar sebagai referensi utama dalam proses penyusunan peraturan Bank Indonesia bagi perbankan Syariah.
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/ lembaga keuangan konvensional ke bank/ lembaga keuangan syariah. Akad dalam transaksi ini menurut Dewan Syari'ah Nasional (DSN) dapat menggunakan empat alternatif yaitu:
1. Al-Qardh, adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat secara angsuran atau sekaligus.[8] Al-Qard adalah merupakan akad saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi komersial.[9]
Akad Murabahah adalah akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank memberikan barang yang yang diperlukan nasabah dan menambahkan nilai mark-up (kenaikan) sebelum menjual kembali barang tersebut kepada nasabahnya sesuai perjanjian laba dengan prinsip 'tambah biaya' (cost Plus).[10]
BRI Syariah cabang Yogyakarta dalam akad pengalihan hutang antar bank menggunakan sistem ini, yaitu menggunakan akad jual beli dan meminta jaminan atas pinjaman kepada nasabah. Tetapi terlebih dahulu pihak nasabah mengajukan permintaan kepada pihak bank dan mengisi formulir pendaftaraan yang sudah disediakan oleh bank. Akad ini sangat jarang terjadi tetapi bila ada calon nasabah yang menginginkan akad ini maka BRI Syariah menetapkan mark-up.[11]
Jika di dalam transaksi pengalihan hutang antar bank ini hanya menggunakan akad al-Qard saja, maka bank syariah tidak boleh meminta imbalan dari transaksi tersebut karena sifat transaksi ini adalah menolong.
Tetapi apabila transaksi itu berjangka waktu pendek maka akad ini tidak bisa digunakan. Hal ini dikarenakan tidak dimungkinkannya persiapan bagi hasil karena sulitnya menentukan keuntungan dalam waktu yang relatif pendek. Dalam hal ini dinyatakan bahwa akan terjadi konflik antara peminjam (yang tentu saja senang meminjam sejumlah uang tanpa bunga dengan ongkos pelayanan kecil) dan pemberi pinjaman (bank) yang ragu-ragu dalam meminjamkan uangnya, meskipun dalam periode yang sangat pendek, kepada peminjam walau diketahui akan mendapat keuntungan dari pinjaman meskipun sukar untuk menentukan besarnya laba tersebut. Mengingat resiko tidak dibayar dapat menimpa pinjaman semacam ini, sehingga pinjaman-pinjaman seperti ini tidak tersedia dalam sistem Islam. Dengan demikian, mayoritas pembiayaan yang jangka waktunya bersifat sangat pendek harus dibuat dari bagian persetujuan mudharabah atau syirkah agar menimbulkan kepuasan pihak peminjam dan pemberi pinjaman. Dalam kasus-kasus yang terjadi lembaga finansial selalu dapat mempertimbangkan penyediaan bantuan tambahan karena saham bagi hasilnya akan tergantung pada keseluruhan pembiayaan yang disediakan berdasarkan rata-rata harian.[12]
Di dalam transaksi pengalihan hutang ini, Dewan Syariah Nasional memberikan altenatif kepada Bank Syariah untuk menggunakan dua akad yaitu akad Qard dan akad Murabahah. Akad Qard dan akad Murabahah adalah merupakan akad yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan di dalam akad Qard pihak bank tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari transaksi ini, karena transaksi ini merupakan transaksi tolong-menolong, sedangkan jika bank menggunakan akad Murabahah dalam transaksi ini berarti bank mengambil keuntungan dari nasabah melalui mark-up, ini berarti sifat tolong menolong dalam transaksi ini hilang karena bank mencari keuntungan (komersial) dari transaksi ini. Jadi di dalam transaksi ini, bank syariah tidak dapat menggunakan kedua akad tersebut tetapi harus memilih salah satu akad tersebut.
2. Syirkah. Syirkah dalam bahasa arab berarti percampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sementara dalam terminologi ilmu fiqh, syirkah yaitu Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi.[13]
Transaksi ini dapat dilakukan tetapi kebebasan nasabah di dalam menjalankan usahanya menjadi terbatas karena adanya campur tangan bank di dalam usahanya.
3. Ijarah adalah akad sewa menyewa barang antara bank (Muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir.[14]
Dalam Transaksi Ijarah ini, memang dimungkinkan nasabah bebas menjalankan usahanya tanpa campur tangan bank tetapi setelah akad ini selesai nasabah tidak bisa memiliki barang/ alat yang digunakan di dalam usahanya, karena harus dikembalikan lagi kepada bank syariah.
4. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh ( ÇáÜãÜáÜß ÇÜáÜÊÇã ), atau Nasabah menjual asset kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS atau LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
Yang dimaksud dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) adalah kombinasi antara sewa menyewa (Ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini, yaitu :
a. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa
b. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.[15]
Pilihan untuk menjual barang di akhir sewa (poin a), biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar uang sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa di akhir periode sewa belum mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang tersebut di akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir sewa (poin b), biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar uang sewa relatif besar Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi nilai sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu bank dapat menghibahkan barang tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki.
Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.


III. Kesimpulan

Ditinjau dari segi imbalan atau jasa atas penggunaan dana, baik simpanan maupun pinjaman, bank dapat dibedakan menjadi:
Bank Konvensional, yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana, memberikan dan dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dalam prosentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Prosentase ini biasanya ditetapkan per tahun.

Bank syariah yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.

Ketika masyarakat muslim di Indonesia mulai banyak yang menyadari tentang pelarangan riba dalam ajaran Islam dan ingin memindahkan transaksi utang yang telah dilakukannya dengan bank konvesional ke perbankan syariah, maka bank syariah harus segera meresponnya. Jangan sampai orang yang sudah berniat baik untuk meninggalkan transaksi yang ribawi kembali terjerumus dalam transaksi itu lagi.
Dalam Pengalihan hutang antar Bank ini, Qardh dengan akad Murabahah adalah jenis transaksi yang kurang sesuai, karena kedua akad ini mempunyai sifat yang berbeda, yaitu disatu sisi akad Qard tidak boleh mengambil keuntungan tetapi di sisi lain akad murabahah menetapkan mark-up dalam mencari keuntungan. Di dalam transaksi pengalihan hutang ini bank syariah harus memilih salah salah satu akad dari keduanya.
Selain itu dalam transaksi pengalihan hutang akad Ijarah saja kurang tepat, karena setelah masa penyewaan ini berakhir nasabah tidak bisa memiliki barang tersebut tetapi kalau Ijarah al-muntahia bitamlik bisa juga dilakukan, karena akad ini merupakan akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan pengalihan barang dari bank ke nasabah. Dan di dalam akad ini pihak nasabah mempunyai kebebasan penuh di dalam penggunaan modalnya. Akad Ijarah al-Muntahia bitamlik ini hanya bisa dilakukan apabila transaksi pengalihan hutang ini dalam bentuk barang yang dapat disewa dan bukan dalam bentuk uang, karena Ijarah al-muntahia bitamlik merupakan prinsip sewa-menyewa.


Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000

Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, Jakarta: Tazkia Institute, 2001

Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000

Chapra, M. Umer, Islam dan tantangan Ekonomi; Islamisasi Ekonomi Kontemporel, Surabaya, Risalah gusti, 1999

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Edisi Kedua diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Bank Indonesia., 2003

Tidak ada komentar: