Rabu, 25 Juni 2008

Pembahasan tentang Ahwar menurut ana

Akhwat memiliki ciri khusus dibandingkan dengan ikhwan (Ya, iyalah...secara). Bahkan, sekarang kata akhwat telah mengalami pergeseran makna, dari yang awalnya adalah saudari (saudara perempuan) berbentuk jamak menjadi perempuan muslimah yang telah memahami dan melaksanakan syari’at secara umum. Akhwat (dalam pengertian kedua tersebut) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
· Hijab
Hijab yang ana maksudkan adalah pakaian dan jilbab, bukan pembatas ruang. Jilbab lebar yang menutupi kepala dengan sempurna kecuali bagian wajah. Ketebalan jilbab juga tidak memungkinkan cahaya untuk tembus, maksudnya bukan jilbab transparan. Umumnya tidak menggunakan warna yang mencolok seperti merah jambu atau warna cerah lain, tapi hal ini tidak mutlak dan sama-sama syar’i. Biasanya warna yang dipilih adalah warna putih polos atau hitam polos, tapi tidak menutup kemungkinan dengan warna-warna lain bahkan dengan motif batik sekalipun.
Lebar jilbab biasanya mampu untuk menutupi bagian (afwan...) dada. Bahkan beberapa akhwat juga mengenakan jilbab dengan ukuran yang lebih lebar serupa dengan burqa di Afghanistan sana. Jilbab lebar model begini secara teori mampu menghapus jejak aseli dari bentuk perempuan.
Pakaian yang paling sering dikenakan adalah qamis/gamis dengan panjang melebihi pinggul (bagian tubuh yang ‘itu’ namanya pinggul, panggul apa pinggang? Ua ah...). Panjangnya lebih dari 30 centimeter. Terkadang juga mengenakan bahan dari kaos yang juga panjang. Seperti pakaian yang lain, baju juga dibuat cukup longgar sehingga jejaknya menjadi samar.
Sebagian besar akhwat mengenakan rok, tapi ada juga satu dua tiga empat yang mengenakan celana panjang longgar. Alasan utama adalah karena dengan rok maka jejak yang ada akan lebih tersamar serta tidak menyerupai ikhwan (padahal ikhwan juga pakai sarung). Ustadz Sarwat memberi kelonggaran bagi yang memakai celana, tapi dengan syarat yang ana lupa isinya. Setahu ana, seluruh akhwat yang memakai rok juga memakai celana panjang sebagai double protector. Bahan yang digunakan sebagai rok umumnya kain katun, tapi menjelang tahun-tahun terakhir banyak akhwat yang memakai rok dengan bahan jeans. Ana sih secara pribadi kurang sreg, walaupun syar’i juga. Menurut ana, jeans adalah lambang neokolonialisme orang kafir kepada muslim.
Untuk bagian paling bawah, setahu ana, akhwat memakai kaos kaki yang umumnya berwarna cokelat mirip dengan warna kulit, tapi tidak mutlak. Bagian bawah dari kaki sebagai aurat merupakan khilafiah. Imam Abu Hanafi menganggapnya bukan aurat, sementara tiga imam yang lain menganggapnya sebagai aurat. Setau ana, jama’ah tarbiyah memilih opsi yang menyatakan kaki adalah aurat. Jadi, secara personal ana melihat apakah seseorang hijabnya sudah sempurna dengan melihat ciri-ciri memakai kaos kaki, tapi yang di bagian atas kudu beres dulu lho...
· Akhlaq
Akhwat (seharusnya) memiliki akhlaq yang lebih baik dibandingkan dengan msulimah pada umumnya. Hal ini karena akhwat telah memperoleh pendidikan/tarbiyah mengenai akhlaq secara kontinyu maupun tidak. Pemahaman tentang kesempurnaan Islam dan teladan rasulullah menyebabkan akhwat memiliki akhlaq yang lebih baik.
Akhaq ini tercermin dalam menjaga pergaulan dengan ikhwan. Ghadhul bashar alias menahan pandangan. Sehari-hari ngitungin kerikil di jalan. Kalau di jalan dan kebetulan berpapasan dengan ikhwan, makin dalam menundukkan pandangan.
Akhwat juga rajin memberikan salam. Kesini bilang salam, kesana bilang salam. Tapi kalau di jalan papasan sama ikhwan, tidak mau memberi salam. Takut timbul fitnah katanya. Kalau ketemu sama laki-laki ‘ammah langsung say hai. Kalau ngobrol dengan ikhwan dijaga bener-bener izzahnya, tapi kalau ketemu tukang sayur bercandanya cair bangetzs. Untung tukang sayurnya nggak bilang, “Saya ikhwan juga, lho...” (Gedhubrakkkxx....v^_^)
Standar ganda! Berlaku juga di ikhwan kok....Lets learn together!
· Pergaulan dan Aktifitas
Pergaulan akhwat sangat ditentukan oleh aktifitasnya. Bagi akhwat haraki yang memiliki aktifitas segudang, tentu pergaulannya akan lebih luas dibandingkan dengan akhwat salafi yang hanya mencari ilmu di kajian tsaqafiyah.
Akhwat yang memiliki amanah public sebagai sekretaris, bendahara atau mas’ulah wajihah akan banyak kegiatan. Kalau tidak syura’ strategis tentu akan melaksanakan kegiatan-kegiatan teknis. Kepanitiaan-kepanitiaan juga menyita banyak waktu.
Pada kesempatan pergaulan seperti itu biasanya interaksi antar jenis juga lebih sering terjadi. Maksud ana antara ikhwan dan akhwat. Pergaulan yang terlalu cair (dan tidak cair) dapat membuat wanita yang hatinya seteguh es meleleh menjadi air jika diri tidak dibentengi dengan iman, ilmu dan amal. Konon, perempuan lebih mudah tersentuh daripada laki-laki, apalagi akhwat dan ikhwan yang sudah pada ngebet pengen nikah. Sangat, sangat sensitive.
Dalam beraktifitas di sebuah wajihah, akhwat jelas berbeda dengan ikhwan. Akhwat biasa melaksanakan kegiatan di siang hari, sementara ikhwan lebih banyak melaksanakan kegiatan di malam hari. Liqa’at akhwat sering di siang hari bahkan harus di siang hari. Sementara ikhwan jauh lebih fleksibel melaksanakannya siang ataupun malam hari. Bahkan tidak jarang liqa’at ikhwan dimulai jam sepuluh malam.
Akhwat juga terkena jam malam. Hal ini untuk mencegah fitnah dan menjaga citra akhwat di mata masyarakat umum. Walaupun aktifitas akhwat di malam hari tergolong aktifitas positif, tapi masyarakat selalu melihat bahwa akhwat yang keluyuran malam bukanlah akhwat positif. Bahkan akhwat yang keluyuran malam dapat member citra buruk secara kejama’ahan dsan Islam secara umum. Jadi, akhwat punya tanggung jawab juga untuk menjaga citra jama’ah selain menjaga citra diri. Bukan hal ringan memang.
· Fikrah atawa Pemikiran
Selama ini yang ana sebut dengan akhwat adalah yang fikrahnya adalah fikrah pergerakan atau aktifis. Yang sekedar jadi pasifis tidak ana sebut sebagai akhwat (dalam arti sempit). Akhwat terbagi dalam beberapa fikrah:
1. Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin
Fikrah ini memandang bahwa Islam adalah sistem yang sempurna dan menyangkut seluruh sendi kehidupan dan kematian. Langkah yang ditempuh untuk mencapai ridha Allah dilakukan secara bertahap dari perbaikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara, negeri Islam lainnya, negeri kafir, dan dunia seluruhnya. Ciri utamanya adalah kegiatan tarbiyah dalam halaqah-halaqah kecil secara pekanan. Saat ini jama’ah tarbiyah menjelma menjadi partai politik yang singkatannya sama dengan singkatan nama blog ini ^_^v
2. Hizbut Tahrir
Fikrah ini memandang untuk meraih ridha Allah adalah dengan menerapkan syari’at dimuka bumi dengan perantaan khilafah islamiyah. HT merupakan partai politik yang tidak terjun ke politik. Menggunakan cara-cara revolusioner untuk mewujudkan tujuan. Cirinya adalah menggunakan bendera/liwa’ bertuliskan Lailaha illallah muhammadar rasulullah dalam berbagai atributnya.
3. Jama’ah Tabligh
Fikrah ini memandang bahwa ridha Allah didapat dengan memperbaiki diri sendiri dan hal itu dilakukan dengan memperbaiki iman dan amal. Banyak melakukan kegiatan amaliyah di masjid-masjid, berda’wah dengan sistem direct selling dari door to door. Jama’ah ini cukup dekat dengan pemikiran-pemikiran sufistik.
4. Salafi
Fikrah ini memandang bahwa satunya yang perlu diperbaiki saat ini dari ummat Islam adalah akidahnya. Membid’ahkan merupakan hal-hal tertentu merupakan kebiasaan mereka. Sangat mengedepankan kajian-kajian ilmiah. Mereka sangat dipengaruhi oleh pendapat para salafush shalih sehingga orientasinya ke belakang dan jarang melihat masa kini.
Itulah keempat fikrah yang dominan di Indonesia dan saya menyebut anggota perempuannya sebagai akhwat, dalam arti sempit. Untuk fikrah seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama, ana belum menyebutnya sebagai akhwat karena sebagian besar dari anggotanya yang memenuhi ciri-ciri akhwat merupakan pendekatan dari keempat fikrah diatas. Sebenarnya masih ada juga fikrah (atau organisasi) lain seperti Persatuan Islam, DDII, Hidayatullah dan Majelis Mujahidin, tapi menurut ana, organisasi ini juga berada di dekat salah satu dari 4 fikrah besar diatas.
· Ibadah
Akhwat memiliki pemahaman Islam yang lebih dibandingkan dengan muslimah pada umumnya. Karena itu, mereka bisa memahami masalah khilafiah, fiqh ibadah mahdhah dan ghairu madhah. Untuk yang berfikrah tarbiyah biasanya ibadahnya adalah:
1. Tilawah 1 juz per hari
2. Membaca wirid al ma’tsurat pagi dan petang
3. Qiyamul lail minimal 3 kali per pekan
4. Puasa minimal 3 kali per bulan
5. Shadaqah minimal sepekan sekali
6. Membaca buku: fiqh ibadah, manhaj pergerakan/harakah, pemikiran, sirah, dll
7. dll
Itulah sebagian dari ciri-ciri akhwat yang kasat mata. Untuk yang tidak kasat mata, Allah dan akhwat yang lebih tahu dari ana. Insya Allah, muslimah yang memiliki ciri-ciri seperti itu akan ana akui sebagai ‘akhwat’ dengan penyesuaian ter tentu.
Bukan hal yang mudah bagi seorang muslimah untuk mendapatkan sebutan akhwat seperti yang ana maksudkan. Butuh perjuangan yang sangat berat dan melelahkan namun juga membahagiakan. Butuh pertimbangan yang matang dan cermat. Butuh waktu dan proses yang lama dan berkesinambungan untuk menjaganya. Dan yang terpenting adalah butuh campur tangan Allah dalam mewujudkannya.
Perubahan wujud muslimah menjadi akhwat sangat ditentukan oleh kehendak Allah. Dengan mudah Allah mampu memberikan hidayah dan kekuatan untuk mentransformasikan diri menjadi akhwat. Sebaliknya Allah juga mampu mencegah seeorang yang sekuat tenaga ingin menjadi akhwat. Bagi Allah, itu urusan yang sangat mudah.
Ana secara pribadi memberikan penghormatan yang lebih kepada akhwat dibandingkan kepada ikhwan sendiri. Pandangan subyektif ini karena seakan-akan untuk menjadi akhwat sangatlah berat. Selain itu ada perasaan tertentu dalam diri saya untuk tidak meremehkan akhwat.
Dulu ketika SMA, ana mengenal banyak siswi. Dengan perangai jahiliyah masa itu, ana termasuk orang yang seneng bercanda. Bahkan terlalu cair di beberapa kondisi. Sering juga duduk sebangku dengan siswi lain, bahkan sering sekali. Bercandanya juga dengan sering kelewatan. Bahkan beberapa siswi ‘ganas’ di kelas ana biasa melakukan penyiksaan terhadap para siswa dengan melakukan tindakan pidana pemukulan secara terencana. Ana termasuk korban juga, meskipun masih dalam koridor bercanda gaya siswa SMA. Sesuatu yang tidak syar’i tentunya.
Dari sekian banyak siswi yang jadi teman bercanda di sekolah, ada dua muslimah yang ana ‘tidak berani’ bercanda dengan mereka. Sekarang salah satunya jadi akhwat beneran. Salah satunya lagi kuliah di UIN. Kepada yang pertama ana tidak berani mengganggu karena beliau adalah siswi yang waktu itu pemahaman agamanya sudah dalam, rajin ibadah, jilbabnya sudah agak lebar, bahkan ketika ketemu di luar sekolah ternyata beliau sering memakai gamis. Makin lengkaplah penderitaan ana untuk tidak mengganggu siswi ini. Saat itu sudah ada perasaan menghormati yang lebih kepada muslimah yang memang bener-bener alim (alim itu menurut ana artinya orang yang cenderung pendiem, maktu itu). Ibaratnya takut dosa kalau mengganggu orang yang agamanya bener.
Dalam satu kesempatan misalnya, ana bercanda dengan teman yang lain sambil ketawa-ketiwi, ngobrol ngalor ngidul gak jelas dan kemudian beliau mendatangi majelis bercandaan kami maka dengan serta merta dan ujug-ujug ana langsung mak klakep, diam seribu kata. Bagi ana, bercanda di depan beliau kok salah atau gimana gitu. Mending diem aje kali ye...
Dari sikap ana yang seperti itu, beliau pernah nanya ke ana kenapa dulu ana bersikap berbeda kepada beliau dibandingkan dengan kepada teman yang lain. Kesalahpahaman itu karena sebenarnya ana menunjukkan sikap bahwa ana menghormati beliau. Cuma mungkin, menurut beliau cara yang ana pakai kurang tepat.
Mbak yang satunya lagi tidak berani ana ganggu karena beliau adalah mbak yang sangat polos bahkan terkesan lugu dan tidak tahu apa-apa. Awalnya kami kenal karena sama-sama penerima beasiswa dari pabrik rokok nomor satu di Indonesia yang sekarang dikuasai Zionis. Akhirnya setelah itu kami sempat dua kali sekelas. Yah, berkat keluguan dan kepolosan beliau itu ana tidak berani bercanda dengan beliau. Itu adalah kisah dulu, sekarang malah berani bercanda dengan beliau. Hehehe..., tapi insya Allah tetap syar’i.
Satu lagi akhwat yang ana kenal di kampus. Awalnya beliau muslimah biasa yang hanif. Basis keluarganya adalah salafi. Ana sebagai ketua kelas yang cukup sering tampil di depan kelas dan menguasai sedikit pengetahuan tentang Islam akhirnya sering ditanyai oleh beliau. Interaksinya lewat hape. Akhirnya malah jadi sering diskusi. Ketika itu beliau masih ikut mentoring kampus. Selain itu juga ikut kajian salafi di suatu tempat, hal itu ana ketahui dari koleksi kitab-kitab klasik beliau. Belakangan beliau keluar dari mentoring dan lebih memilih kajian salafinya karena tidak cocok dengan mentornya yang konon kurang punya kafaah syar’iyah. Ilmu agamanya cethek, begitu kurang lebih alasan beliau. Beberapa kali beliau ‘menyerang’ Imam Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb karena masalah bid’ah. Waktu itu ana juga belum terlalu paham dengan manhaj, ilmu fiqh dan aqidah Islam, jadi ana tidak dapat menjawab serangan-serangan tentang bid’ah tersebut. Akhirnya komuniasi kami terputus cukup lama.
Suatu hari di acara kajian di Markaz yang diisi Ustadz Herry Nurdi, ana melihat beliau hadir bersama teman sekelas kami yang lain. Kajian pada hari itu dihadiri oleh ikhwan dan akhwat kampus. Jumlahnya lumayan banyak karena ada ta’limat dari kaderisasi. Ikhwan di lantai bawah. Sementara akhwat di lantai atas. Sebagian besar muslimah yang hadir adalah kader akhwat dengan jilbab lebar. Sementara waktu itu beliau masih mengenakan jilbab belum lebarnya. Kajian berjalan lancar dan hari itu berlalu dengan kedamaian.
Malamnya sekitar jam sebelas (11.00 pm), tiba-tiba, mak bedhundhuk, beliau menelepon nomor ana. Dari seberang terdengar beliau menangis dalam sedu sedan. Ya jelas ana bingung. Untuk beberapa saat beliau tidak mampu mengungkapkan masalahnya. Ketika lebih tenang beliau mengutarakan kesedihan beliau dan kepengecutannya karena selama ini beliau sangat ingin memakai jilbab yang lebar tapi tidak terlaksana karena ketakutannya terhadap pandangan teman-temannya yang lain terhadap beliau. Banyak faktor yang menyebabkan beliau tidak segera berjilbab, terutama mengenai ketakutan beliau terhadap hal-hal negatif yang beliau bayangkan. Ana berjanji akan membantu beliau sebisa ana. Akhirnya ana berkonsultasi ke akhwat teman SMA ana yang dulu, diberi beberapa poin untuk menasehati beliau. Kalau tidak salah ada sepuluh poin, tapi yang ana berikan hanya satu poin saja....
Ketika ana ingin memberikan bantuan materiil, beliau menolak. Namun, akhirnya beliau meminta bantuan untuk mencarikan jilbab yang sesuai dengan keinginan beliau. Mencarinya tidak di sembarang tempat, tapi di Pasar Beringharjo Ngayogyakarta Hadiningrat. Padahal ana kuliah aja di Bintaro Tangerang. Akhirnya ketika mudik tiga bulanan, ana ngubek-ubek Pasar Beringharjo nyari jilbab pesenan. Kebayang kan bagaimana reaksi para pedagang yang umumnya ibu-ibu lihat ikhwan nyari jilbab? Mungkin si ikhwan sudah dapat hidayah buat berjilbab kali? Huhhhhh.... kalo bukan karena berbuat baik, pasti ana nggak mau. Malu....
Hasilnya? Ana tidak menemukan jilbab yang beliau maksudkan.
Hingga suatu hari kuliah, beliau memakai jilbab yang lebih lebar. Hmmfhh... ada perasaan lega di hati ana. Finally.
Pulang kuliah ana mengirim SMS pada beliau yang isinya ucapan terima kasih karena telah menyejukkan mata para mahasiswa dengan kibaran jilbab. Klise memang, tapi namanya juga orang ngasih semangat kan biasanya pakai kata-kata yang sulit dimengerti. SMS yang ana kirim tidak mendapat balasan.
Sekarang beliau masih mengikuti kajian salafi. Sesekali beliau mengingatkan dan meminta bantuan kalau ada kasus-kasus tertentu di kelas yang berhubungan dengan aqidah.
Kembali ke topik. Dari mengalami sendiri ( maksud ana pengalaman orang di sekitar ana) bagaimana susahnya untuk ‘sekedar’ memakai hijab secara sempurna itu, ana semakin merasa bahwa untuk memperoleh title akhwat itu tidak mudah. Bahkan sulit. Namun hal itu tidak mustahil.
Berbicara tentang akhwat maka yang paling kasat mata tentunya adalah masalah hijab. Media mengambil frase akhwat jilbabers sebagai simbol Islam, bukan ikhwan jenggotan. Cak Nun membuat puisi dengan judul ‘Lautan Jilbab’ bukan lautan peci. Pemerintah Turki memperjuangkan penggunaan jilbab di kampus bukan memperjuangkan sorban di kampus. Kehormatan ummat bagi akhwat yang mengenakan jilbab dengan sempurna.
Secara pribadi ana merasakan ketenangan (sakinah) ketika melihat akhwat berjilbab. Bukan dalam artian erotis (mawaddah) tapi dalam artian kedamaian melihat awal kebangkitan. Sungguh panasnya matahari di jalanan akan sirna oleh kesejukan gelombang ummahat berjilbab putih dalam barisan aksi menggendong anak-anak penerus generasi.
Sungguh, akhwat adalah sumber kebangkitan ummat. Di sinilah madrasah pertama bagi para mujahid dan syuhada’. Di sinilah terletak tanggung jawab pembinaan insan utama. Di sinilah terpatri simbol Islam. Di sinilah pusat perbaikan dan reformasi, bahkan revolusi. Di sinilah awal peradaban terbentuk. Di sinilah kehormatan ummat muslim. Betapa berat tanggung jawab yang harus dipikul akhwat, bahkan ikhwan pun belum tentu sanggup.
Dari dasar palung hati yang terdalam, dengan segala kerelaan dan keikhlasan ana memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada akhwat sejati. Jazakumullah khairan katsira karena telah memberikan kesejukan di atas bumi yang yang semakin panas. Lahirkanlah dan didiklah generasi penerus yang akan member bobot di atas bumi dengan ucapan La ilaha illallah!

Senin, 09 Juni 2008

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

A. Pendahuluan

Kecenderungan kekerasan bernuansa agama, juga konflik etnik yang makin kental di beberapa bagian wilayah Indonesia, makin mengancam keberadaan masa depan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang dikenal sangat majemuk ini. Kekerasan tersebut tentu saja tidak boleh berkembang dan dibiarkan sedemikian rupa. Ini tidak dapat dilepaskan dari upaya setiap elemen bangsa untuk mencari jalan keluar dari ancaman konflik agama dan etnik.
Kritik bahwa kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif, dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat beriman terhadap umat yang berbeda keyakinan imannya (agamanya). Klaim kebenaran (truth claims) suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.
Berangkat dari pernyataan di atas, tulisan ini akan mengkaji beberapa persoalan yang berhubungan dengan pendidikan agama dalam masyarakat majemuk. Pertanyaan yang diajukan untuk persoalan tersebut adalah: Mengapa terjadi eksklusivisme dalam pendidikan agama? Bagaimana Islam mengajarkan kehidupan beragama dalam masyarakat majemuk? Tantangan apakah yang dihadapi pendidikan Islam untuk menciptakan generasi rahmatan lil'alamin, khususnya dalam konteks kehidupan umat manusia yang sangat plural? Bagaimanakah paradigma pendidikan Islam yang diperlukan dalam masyarakat majemuk?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis akan mengelaborasi sejumlah pemikiran baik dari kalangan Muslim maupun kalangan di luar Muslim. Sejatinya, penulis sendiri berpendirian bahwa selain menggali dari referensi pokok Islam, yaitu Qur'an dan Sunnah, juga perlu mengambil hikmah dari kearifan pemikiran umat manusia lainnya, tanpa membedakan perbedaan latar belakang bahasa, ras dan agama. Dengan demikian, tujuan agama rahmatan lil 'alamin dan implikasinya terhadap etos pluralitas dalam pendidikan Islam diharapkan dapat tercapai.


B. Sumber-Sumber Eksklusivisme

Eksklusivisme agam tidak dapat dilepaskan dari penafsiran yang melekat dari teks-teks suci agama oleh para pemeluknya. Eksklusivisme ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk pemahaman yang sering dimonolitikkan sebagai kebenaran tunggal, sehingga mengisolasi diri dari tafsir pemahaman keagamaan kelompok lainnya. Sifat isolasionisme ini menutup pintu-pintu dialog bagi setiap aneka wacana pemahaman (pemikiran) yang berbeda dengan apa yang dipahami satu kelompok agama dengan kelompok lainnya.
Rumusan yang lebih eksklusif dari sifat isolasionisme itu oleh intelektual Barat disebut dalam fenomena fundamentalisme agama. Istilah fundamentalisme merupakan sebuah kata yang kontroversial, karena banyak penyebutan para fundamentalis oleh pihak lainnya yang tidak akan menerima istilah tersebut untuk dilekatkan kepada mereka sendiri. Oleh Anthony Giddens (1999:49), dengan mengacu kepada kebenaran ritual, fundamentalisme adalah pembelaan tradisi dengan cara tradisional. Rumusan lainnya yang menekankan betapa fundamentalisme menampakkan wajah eksklusif yaitu karena ia terumus dalam konsep-konsep seperti otentisitas, skriptural, benar-sendiri (self-righteous), pemurnian (purity), keselamatan dan superioritas pengetahuan, sehingga mendorong orang yang dianggap other keluar dari falsafah kehidupannya (Moussalli, 1994: 88).
Sumber eksklusivisme agama itu sendiri sebenarnya bisa dilihat dari rumusan yang dianggap suci dari beberapa agama. Sebagai contoh seperti dalam Katolik Roma sebelum Konsili Vatikan II, yaitu "Extra Ecclesian nulla sakus" yang menyatakan bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja (Kung, 1986: 23-24). Atau dengan kata lain, tidak ada keselamatan di luar penganut Kristen, kecuali ia mengikuti kekristenan itu sendiri. Dalam agama Yahudi, konsep "bangsa terpilih" (people chosen), seperti disebut dalam Kitab Eksodus (Keluaran) 19:5-6 dan Deutoronomi 10:14-15, membawa pengertian bahwa bangsa/umat manusia lain selain Yahudi adalah makhluk yang rendah, tidak dijanjikan keselamatan oleh Tuhan. Implikasinya adalah Tuhan agama Yahudi akan jatuh dalam bentuk rasisme (Pieris, 2001: 67).
Dalam Islam sendiri, konsep eksklusivisme agama sering dilihat dari penafsiran ayat Qur'an yang menyatakan bahwa sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam (QS. 3:19), atau kalimat "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (QS. 3:185). Bahkan rumusan ayat lainnya menyatakan "…[J]anganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam" (QS. 3:102). Rumusan kalimat teks Qur'an itu sering membawa implikasi buruk ketika ditafsirkan secara naif untuk menghadapi kelompok agama/umat lainnya saat kepentingan-kepentingan bersifat imanen (ekonomi, politik, atau status sosial) terancam. Atau di antara sesama Muslim sendiri, ada penjustifikasian teks-teks Qur'an bahwa kelompok yang berbeda dapat dianggap "kafir" lantaran tidak sejalan dengan garis pemahaman keagamaan kelompoknya.
Klaim-klaim kebenaran atas teks suci agama itu, pada gilirannya membawa kepada dislokasi nilai agama kepada semangat otoritarianisme keagamaan yang menindas atau memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang katanya ingin menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran semacam itu membawa umat manusia kepada sikap saling menghancurkan sesama manusia untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan (keselamatan) itu sendiri. Dalam aras yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang demikian itu nampak dalam sikap anti-dialog, isolasionis, dan antagonis baik kepada umat agama lain maupun terhadap sesama umat agamanya dari kelompok (mazhab) yang berbeda.
Dalam dunia pendidikan, sikap totalitarianisme klaim kebenaran menampakkan dirinya dalam bentuk pengakuan sendiri bahwa pendapat dirinya saja yang benar. Sikap memutlakkan satu pendapat sebagai satu kebenaran, menolak inovasi pemikiran baru, finalitas kebenaran, dogmatis dan anti dialog terhadap perbedaan pemikiran (pendapat), merupakan derivasi ciri-ciri lainnya.
Bagi penulis, "eksklusivisme" agama-agama merupakan sekadar suatu ciri identitas kelompok yang dianggap sebagai kewajaran sepanjang tidak saling menegasikan keberadaan indentitas kelompok lainnya yang masih ada dan tumbuh bersama-sama. "Eksklusivisme" agama merupakan sebuah keniscayaan untuk pencarian Realitas Tertinggi (Ultimate Reality), sehingga ia hanyalah sebuah khazanah antar-iman. Persoalannya, ekslusivisme agama menjadi terasa buruk ketika masing-masing kelompok agama yang berbeda saling berebut kebenaran. Dalam kehidupan sosial, "perebutan" kebenaran itu menimbulkan sikap prasangka, tidak toleran, dan kekerasan (fisik dan non-fisik).


C. Pandangan Islam tentang Pluralitas Agama

Di muka telah dikemukakan bahwa Islam memiliki eksklusivisme tersendiri, yang oleh penulis dianggap sebagai ciri identitas di antara agama-agama (keimanan) lainnya. Jika dicermati, teks Islam seperti dalam Qur'an itu sendiri mengakui keberadaan agama-agama lain di luar Islam. Pengakuan eksistensi agama-agama lain dalam Islam merupakan prinsip toleransi Islam terhadap pluralitas agama. Prinsip toleransi Islam itu dapat disimak dalam QS. 10: 99 yang secara eksplisit menyatakan:
"Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Dari rumusan (terjemahan) ayat Qur'an itu nampak sekali bahwa dalam ajaran Islam, perbedaan keyakinan itu adalah kehendak Allah. Pada gilirannya, seseorang tidak punya hak untuk menghakimi benar-salah keyakinan seseorang, kecuali diserahkan semuanya kepada Allah semata. Karena Allah sajalah yang berhak memberikan hidayah dan jalanNya kepada siapapun (QS. 16: 125).
Islam juga mengajarkan sikap saling menghormati antara berbagai komunitas manusia beriman (QS. 6:108). Dalam kehidupan sosial, sikap ini ditunjukkan dengan sikap saling menolong/bekerja sama tanpa diskriminasi keyakinan dan perilaku yang salah.Di samping itu, Islam pun mengajarkan keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam dalam diri manusia, sehingga kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah (sunnatullah) dari prinsip tersebut. Keseluruhan ajaran Islam mengenai pluralitas agama itulah yang oleh Roy P.Mottahedeh (1996) dianggap sebagai prinsip "teologi toleransi" dalam Islam.


D. Paradigma Lama Menghadapi Pluralitas

Karakter Islam sebagai agama misi (dakwah) membawa konsekuensi penting dalam hubungannya dengan agama-agama lain yang telah ada. Sifat misionaris dalam Islam nampak antara lain dalam QS. 16:125 yang menyatakan, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…." Metode seruan (dakwah) kepada Islam semacam itu membawa pengertian bahwa Allah memberi potensi kepada diri manusia untuk beriman. Persoalan ia mau mengikuti (beriman) Islam atau tetap menolak, maka itu semua diserahkan kembali kepada Allah. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. 16: 125).
Pernyataan tersebut di atas dikuatkan dengan penjelasan QS. 2: 256 yang menyatakan bahwa,
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. 2: 256).

Islam, yang dalam beberapa pengertiannya diartikan sebagai agama berserah diri kepada Tuhan (aslama), kesejahteraan atau kedamaian (salam), dan keselamatan (salim) (Rahardjo, 1996: 142), sering disalahpahami dan diperkenalkan secara distortif sebagai agama yang menolak pluralitas dan toleransi agama. Ini merupakan warisan generasi Perang Salib dan kolonialisme Eropa terhadap dunia Islam hingga pertengahan abad ke-20, yang hingga sekarang masih sulit dihapus dari memori kolektif masyarakat Barat-Kristen.
Pandangan terhadap agama lain, khususnya terhadap Abrahamic faiths, seperti Yahudi dan Nasrani (Kristen), teramat jelas bahwa Islam menganjurkan dialog antar iman. Tujuan dialog ini adalah agar setiap pemeluk bisa memperdalam iman masing-masing dan menyampaikan pengalamannya pada orang lain (Rahardjo, 1996: 151).
Sejarah Islam yang sempat diwarnai pertumpahan darah dalam silang bergantinya imperium Islam sejak suksesi kekuasaan empat khilafa ur-rashidin hingga akhir Khilafah Ottoman di Turki, memberi kesan bahwa Islam agama pedang, penuh kekerasan. Selain itu, dunia Islam yang sempat dijajah mengalami proses isolasi dalam proses pendidikannya, sebagai reaksi melawan pendidikan model kolonialisme, sehingga menolak apa-apa saja yang dianggap berbau Barat (Kristen,Eropa), seperti modernisasi dan teknologi modern. Ada semacam post-colonial syndrome di antara kaum Muslim, khususnya dalam pendidikan Islam yang pada gilirannya melanggengkan model-model kolonialisme ilmu, seperti dalam bentuk dikotomisasi antara ilmu dan agama, ada ilmu umum dan ilmu agama. Ada ilmu dunia dan ilmu akhirat, yang satu dan lainnya saling dikontraskan secara ideologis.
Dalam pendidikan Islam, prinsip finalitas kebenaran dari tafsir teks suci agama melahirkan bentuk-bentuk klaim kebenaran yang cenderung eksklusif. Lahirnya teologi Asy'ariah dan Mu'tazilah dalam Islam pada gilirannya melahirkan konflik-konflik internal di kalangan masyarakat Muslim sendiri. Belum lagi dengan konflik dalam mengikuti keberpihakan terhadap tradisi Nabi Muhammad (sunnah) dan keluarganya (ahlul bayt) melahirkan dua tradisi keagamaan yang berbeda antara sunni dan shi'i yang bertahan berabad-abad hingga sekarang. Klaim kebenaran ini pada gilirannya mengarah pada sikap saling menegasikan (mengkafirkan) satu dengan lainnya. Klaim kebenaran juga melahirkan komunalisme tidak hanya ketika menghadapi sesama Muslim, tetapi terutama terhadap apa yang di luar kepentingan etnik, politik, dan ekonomi komunalnya, yang kemudian dijumbuhkan dengan Islam sebagai agama yang dipeluknya.
Sebagai sebuah keniscayaan historis, aneka ragam paham keagamaan tersebut merupakaan kekayaan khazanah Islam dalam sejarah dinamis peradabannya. Hanya saja, Islam sebagai rahmat seluruh jagat raya (rahmatan lil 'alamin) seharusnya tidak dinodai oleh kesempitan cara berfikir dogmatik (taqlid), sikap skripturalis terhadap pemaknaan teks-teks suci agama, dan kepentingan temporer pemeluknya yang diatasnamakan kepada Islam. Fungsi agama tidak lebih hanya sebagai alat pembenar kepentingan kolektif segelintir komunitasnya saja.
Jika pola pendidikan Islam masih mempertahankan prinsip finalitas kebenaran cara beragama, dan eksklusif terhadap ragam perbedaan pemikiran (tentang kebenaran), serta "sakralisasi" terhadap pemaknaan teks-teks agama, maka pertanda eksistensi Islam sebagai agama akan tidak memiliki masa depannya. Sikap menutup diri (isolasionis) dalam beragama akan menumpulkan kepekaan terhadap kehidupan sosial di sekitarnya. Wajah humanis Islam akan menjadi monolitik dalam wajah kekerasan komunal yang ditonjolkan pemeluknya ketika menghadapi pluralitas.
E. Paradigma Baru Menghadapi Pluralitas

Pendidikan berperan penting dalam membentuk karakter umat manusia. Dalam kehidupan umat beragama, pendidikan agama yang humanis dan toleran terhadap umat (iman) manusia lainnya sangat diperlukan.
Dari problem keagamaan yang dipaparkan di muka, maka model-model pendidikan Islam yang cenderung eksklusif, mengagungkan klaim kebenaran, sakralisasi pemaknaan teks-teka agama, tidak peka terhadap problem kemanusiaan dan kealaman, dan isolatif terhadap informasi kebenaran yang datang di luar pemahaman Islam, maka perlu dilakukan "format ulang" dengan model "open-ended"[1] tafsir keagamaan ataupun pendekatan agama "post-dogmatik" (Qodir, 2002).
Relevansinya dengan paradigma baru pendidikan Islam dalam masyarakat majemuk (agama), adalah penting untuk mengemukakan pendapat Soedjatmoko (1983;1990) di sini. Menurut Soedjatmoko (1983: 9)), peran agama dalam pendidikan adalah menciptakan kesadaran pluralisme agama dengan menumbuhkan perasaan berbagi kemanusiaan dengan orang-orang yang secara fundamental berbeda orientasi ideologisnya. Keharusan untuk berbagi dalam bumi yang kecil ini hendaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali alat-alat kultural dan sosial kita agar mampu bertahan (survive) dengan perdamaian, kebebasan dan martabat manusia.
Kemauan berbagi dengan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, dan peka dengan batas-batas toleransi masyarakat terhadap perubahan sosial dan terhadap ketidakadilan (Soedjatmoko, 1990: 8), merupakan indikator-indikator lainnya yang diharapkan dikembangkan dalam pendidikan Islam. Selain itu, menghadapi pluralitas agama, pendidikan Islam hendekanya mampu membentuk karakter umatnya yang bisa bekerja sama dengan orang lain atau pihak lain terlepas dari perbedaan (diskriminasi) kebudayaan, ras atau agama. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam adalah agar umat memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkap relevansinya dengan masalah-masalah perkembangan baru (Soedjatmoko, 1990:9)
Untuk mau berbagi kemanusiaan, maka pendidikan Islam perlu memahami eksistensi umat agama lain sebagai sesama makhluk Tuhan dengan dialog dan toleransi. Dialog merupakan konsekuensi dari keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Tujuan dialog antar iman (agama), mengikuti Herb Feith (1998), adalah belajar memahami eksistensi masing-masing. Jadi, bukan hanya demi kerjasama menghadapi pihak ketiga. Dialog bukan pula hanya demi menjauhkan bahaya saling konflik. Jadi, "[D]ialog bukan hanya menambah pengetahuan mengenai sebuah kelompok lain. Yang lebih penting lagi memperdalam iman kita masing-masing dan memperkaya spiritualitas kita masing-masing" (Feith, 1998:4).
Toleransi pun tidak hanya dilakukan kepada umat agama lain, tetapi perlu dilakukan di dalam tubuh Muslim sendiri. Adalah mengherankan, jika dialog dan toleransi agama terhadap umat agama lain gencar dipropagandakan, tetapi terhadap sesama Muslim sendiri, karena berbeda mazhab fiqh dan pemikiran, justru dilupakan sama sekali. Penulis berpendapat seruan ini sudah sering disampaikan oleh segenap pemuka Islam, tetapi selalu mengalami kebuntuan, karena toleransi dan dialog agama masih menjadi milik elit agama, belum menjadi sebuah gerakan massa. Paling jauh, dengan komunitas keagamaan yang berbeda ditanamkan sikaf inklusif, tetapi di antara sesama komunitasnya sendiri justru diperkeras sikap eksklusifisme. Ada standar ganda dalam pola hubungan keberagamaan.
Tanggung jawab Muslim sebagai khalifatullah di muka bumi akan kehilangan makna keberimanannya kepada Allah, tanpa kehadiran umat manusia lainnya meskipun berbeda agama. Menghadapi krisis global sekarang pun, beban kekhalifahan tidak cukup hanya ditanggung oleh umat Islam sendirian. Dalam Etika Global yang digagas Hans Kung (1991) adalah menarik untuk dicermati pikiran perlunya menjadikan setiap manusia untuk diperlakukan manusiawi. Keharusan itu diwujudkan dalam komitmen kemanusiaan kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup, budaya solidritas dan tata cara ekonomi yang adil, budaya toleransi dan hidup yang benar, dan budaya kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan. Untuk mewujudkan komitmen itu, maka dialog antar agama menjadi penting. Dalam rumusan Hang Kung yang terkenal sebagai etika global itu adalah bahwa "No Survival Without A World Ethic, No World Peace Without Religious Peace, No Religious Peace Without Religious Dialogue" (Kung, 1991). Dari beberapa pemikiran tersebut, maka aspek pluralis, humanis, dan toleran dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan, sehingga tumbuh kepekaan sebagai sesama umat manusia.

F. Penutup

Idealitas pendidikan Islam yang pluralis, humanis dialogis dan toleran nampaknya akan sulit dikembangkan, jika Islam dimaknai sebagai "negative revelation" (Shanks, 1999) yang menonjolkan otoritarian-isme, eksklusif dan anti dialog. Dengan pengembangan sikap pluralis, humanis dialogis dan toleran dalam pendidikan Islam, pada gilirannya tugas yang berat adalah menerjemahkan teks-teks suci Islam (Qur'an dan Sunnah) sebagai "positive revelation" yang dalam istilah Andrew Shanks (1999) disebut sebagai "isonomy". "Isonomy" merupakan situasi wahyu di mana di masyarakat ada keadilan, ada perdamaian. Untuk mewujudkan "isonomy" ini, maka tawaran "open-ended" dan "post-dogmatik" dalam keberagamaan umat Islam menjadi upaya keras yang perlu dilakukan dalam pendidikan Islam.

PRAKTEK PEMBIAYAAN BANK SYARI'AH DAN PROBLEMATIKANYA

Pendahuluan
Gus Dur, dalam wawancaranya dengan salah satu TV mengenai Fatwa MUI tentang Pengharaman Bunga Bank mengatakan bahwa bunga bank tidak haram, karena bunga bank tidak identik dengan riba. Komentar Gus Dur tersebut bersambut gayung dengan komentar yang lain, salah satunya dikemukakan oleh Syafi’i Maarif yang mengatakan bahwa fatwa MUI tersebut terlalu terburu-buru. Berbagai komentar ini ditanggapi kembali oleh MUI yang menjelaskan bahwa MUI belum mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank haram, pengharaman bunga bank baru sebatas usulan komisi fatwa MUI.
Pro-kontra antara haram-makruh-mubah-halal adalah perdebatan yang sudah lama menjadi wacana masyarakat luas, tidak hanya kalangan elit agama. Penulis berpendapat bahwa pro-kontra pengharaman bunga bank tidak seharusnya menjadikan akademisi dan praktisi lembaga keuangan syariah, termasuk perbankan syariah surut melangkah dalam memajukan lembaga keuangan syariah. Sebagaimana teori-teori dan praktek yang lain, teori dan praktek perbankan syariah akan eksis dan menjadi model saat ia mampu menyelesaikan problem-problem yang terjadi di masyarakat, dan ditinggalkan apabila dipandang tidak mampu menyelesaikan problem-problem yang terjadi di mayarakat, terutama problem kemiskinan dan pengangguran yang terjadi karena ketidakadilan. Bertolak dari pendapat ini, akademisi dan praktisi perbankan syariah harus selalu mengevaluasi dan memperbaiki konsep dan praktek-praktek yang tidak mampu menyelesaikan problem-problem di masyarakat.
Tulisan berikut akan membahas konsep-konsep pembiayaan dan aplikasinya serta beberapa problem yang perlu dievaluasi dan kemudian dikembangkan dalam kerangka mengembangkan peran dalam menyelesaikan problem-problem ekonomi umat. Fokus pembiayaan merupakan konsep dan praktek penting dalam perbankan syariah mengingat dari produk pembiayaan inilah yang berhubungan langsung dengan masalah pendanaan ke nasabah, yang harapannya pada gilirannya nanti akan mampu mengurangi kemiskinan dan memberi peluang kepada terbukanya lahan-lahan baru lapangan pekerjaan. Produk pembiayaan inilah yang mempunyai peluang untuk memajukan sektor riil.
Secara sistematis tulisan ini diawali dengan mendeskripsikan konsep dan praktek pembiayaan bank syariah; kemudian dilanjutkan dengan problem-problem yang muncul dalam konsep dan praktek pembiayaan; alternatif pengembangan pembiayaan bank syariah; dan terakhir kesimpulan sebagai rangkuman dan rekomendasi dari pembahasan tulisan ini.

Konsep-Konsep Pembiayaan Bank Syariah
Produk bank syariah yang berkaitan dengan penyaluran dana, dalam istilah bank syariah dikenal dengan pembiayaan (sama dengan kredit dalam istilah bank konvensional) menerapkan beberapa sistem. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Bab VI Pasal 28 tentang Kegiatan Usaha[1] disebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya yang meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi
giro berdasarkan prinsip wadiah,
tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah,
deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui:
murabahah,
istisna
ijarah
salam
jual-beli lainnya
3. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip
mudharabah
musyarakah
bagi hasil lainnya
4. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip
hiwalah
rahn
qard.
Pada prakteknya, seperti Bank BNI Syariah produk pembiayaan yang diaplikasikan adalah Jual-Beli (murâbahah), Bagi-Hasil (Mudhârabah), Sewa-Beli (Ijârah bai’ at Ta’jiri), dan kongsi (musyârakah).[2] Ulasan produk-produk pembiayaan tersebut sebagai berikut:
1. Murabahah
Murabahah adalah pembiayaan di mana pihak bank syariah menyediakan dana untuk membeli barang yang dibutuhkan nasabah/umat. Secara operasional, praktek murabahah ini adalah jual-beli barang sebesar harga perolehan atau harga jual (harga beli ditambah biaya transportasi, PPN dan sebagainya) ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati di mana penjual harus memberitahukan kepada pembeli mengenai harga beli produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada harga perolehan tersebut. Keuntungan Bank Syari’ah berdasarkan prinsip kepatutan. Pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara tangguh dan menurut batas waktu yang ditentukan bersama.
2. Mudharabah
Mudharabah adalah pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal, Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya 30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank Syari’ah dengan nasabah. Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut.
3. Bai’ al Istisna
Bai’ al Istisna yaitu kontrak order yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu.
4. Ijarah
Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang memperbolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang dengan membayar sewa sesui dengan perjanjian kedua pihak.
5. Musyarokah
Musyarokah yaitu pembiayaan modal kerja atau investasi di mana Bank Syari’ah menyediakan sebagian modal usaha keseluruhan, dan dalam proses manajemen pihak Bank Syari’ah dapat dilibatkan secara langsung sehingga keduanya berserikat dalam usaha. Pembiayaan musyarokah ini berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan proporsi penyertaan. Rasio keuntungan misalnya 50%:50 %, atau sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
6. Bai’ Bitsaman Ajil
Bai’ Bitsaman Ajil yaitu jual beli dengan suatu akad sebagaimana terjadi dalam prinsip murobahah tetapi pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara berangsur.
7. Bai’ As-Salam
Bai’ As-Salam yaitu pembiayaan di mana nasabah memesan barang lewat Bank Syari’ah. Jenis barang dan harganya telah ditentukan dan nasabah melunasi harga barang tersebut pada saat akad (nasabah telah menitipkan uang tunai pada Bank Syari’ah), kemudian pihak Bank Syari’ah menyediakan barang yang dipesan pada waktu jatuh tempo, sedang keuntungan bank hanya berupa jasa dari nasabah
8. Hiwalah
Hiwalah pembiayaan ini terjadi apabila seseorang memiliki utang kepada orang lain kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Bank Syari’ah untuk membayar hutangnya setelah Bank Syari’ah melunasi hutang orang yang bersangkutan maka status hutangnya berdasarkan akad perjanjian yang dibuat beralih kepada Bank Syari’ah.
9. Rahn
Rahn adalah gadai yang dilakukan secara suka-rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Rahn berlaku untuk semua harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
10. Qordul Hasan
Qordul Hasan yaitu Pembiayaan kebijakan yang diberikan Bank Syari’ah kepada nasabah tanpa pengutan bagi hasil. Dalam hal ini nasabah hanya dibebani tanggung jawab mengembalikan pembiayaan sejumlah yang diterimanya dari Bank Syari’ah tanpa tambahan apapun, dan membayar biaya administrasi. Apabila peminjam tidak mampu mengembalikan dalam jumlah yang sama dan pada waktu yang telah ditentukan, maka peminjam tidak boleh dikenai sanksi. Atas kerelaannya peminjam dibolehkan memberikan imbalan kepada pemilik barang/uang.

Operasional Bank Syari’ah dalam Pembiayaan
Dalam pembiayaan atau penyaluran dana Bank Syari’ah menggunakan sistem bagi hasil dan pengambilan keuntungan berdasarkan syari’at Islam. Adapun mekanismenya adalah:
1. Permohonan pembiayaan oleh nasabah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Memberikan kejelasan tentang platform pembiayaan yang dimohon
b. Memberikan kejelasan tentang rencana penggunaan dana
c. Memberikan kejelasan tentang rencana jangka waktu pelunasan pembiayaan..
d. Memberikan kejelasan tentang rencana jaminan atas pembiayaan yang dimohon
e. Memberikan laporan keuangan perusahaan minimal 2 tahun terakhir
f. Memenuhi ketentuan umum administrasi.
Penerimaan berkas permohonan oleh petugas Bank Syari’ah
Pada prinsipnya permohonan pembiyaan diajukan secara tertulis namun dalam keadaan di mana cara ini sulit atau tidak mungkin dilakukan permohonan dapat diajukan secara lesan langsung antara nasabah dengan petugas.
Mempelajari berkas permohonan
Berkas permohonan yang diterima kemudian dipelajari sampai didapatkan suatu kesimpulan bahwa permohonan tersebut layak untuk ditindak lanjuti.
Survey Lapangan
survey lapangan dilakukan setelah didapatkan suatu kesimpulan yang jelas bahwa suatu permohonan pembiayaan yang diajukan pemohon dipandang layak untuk ditindak lanjuti.
Melakukan analisa pembiayaan
Analisa pembiayaan adalah serangkain kegiatan dalam rangka menilai informasi, data-data serta fakta di lapangan sehubungan diajukannya permohonan pembiayaan oleh seseorang.
2. Contoh Perhitungan Praktis Pembiayaan
Dari beberapa konsep-konsep pembiayaan-pembiayaan di atas, secara riil dapat dicontohkan, antara laian, sebagai berikut:
a. Al-Murabahah misalkan seseorang nasabah ingin memiliki sepeda motor. Ia dapat mengajukan permohonan agar Bank Syari’ah membelikannya. Melalui prosedur yang teliti kemudian dinyatakan Bank Syari’ah setuju, maka bank syariah membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah, jika harga motor tersebut Rp 4.000.000,- dan Bank Syari’ah ingin mendapatkan keuntungan Rp 800.000,- selama dua tahun. Harga yang ditetapkan kepada nasabah seharga Rp 4.800.000,- nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp 200.000,- per bulan.
b. Al-Mudharabah misalkan seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiyaan bagi hasil seperti mudharabah di mana Bank Syari’ah bertindak selaku shohibul mal dan nasabah selaku mudhorib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya dari modal Rp 30.000.000,- diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,- per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2.000.000,- selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.
c. Musyarokah misalnya Pak Usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek usaha tersebut membutuhkan modal sejumlah Rp 100.000.000,- ternyata setelah dihitung, Pak Usman hanya memiliki Rp 50.000.000,- dari modal yang diperlukan. Pak Usman kemudian datang ke Bank Syari’ah untuk mengajukan pembiayaan dengan model musyarokah. Dalam hal ini kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp. 100.000.000,- dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari Bank Syari’ah . Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk Bank Syari’ah. Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp 20.000.000,- dan nisabah atau porsi yang disepakati 50:50%, pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp 50.000.000,- ditambah Rp 10.000.000,- (50% dari keuntungan untuk bank).
Prakteknya secara umum, misalnya pada pembiayaan murabahah, bank syariah bukan murni sebagai penjual barang seperti pada industri perdagangan yang menjual secara langsung kepada pembeli karena pada kenyataannya bank syariah tidak mempunyai persediaan barang. Hampir 80% pengadaan barang yang dijual kepada nasabah diwakilkan kepada nasabah bersangkutan untuk membelinya. Artinya nasabah membeli barang sendiri setelah diberikan fasilitas dana oleh bank syariah. Beberapa transaksi juga terjebak pada jual-beli fudhul, yaitu barang dijual belum benar-benar menjadi milik penjual atau milik bank syariah sudah dijual lagi kepada nasabah.
Secara formal bentuk akad atau perjanjian pembiayaan murabahah merupakan akad jual beli antara bank syariah selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, namun hakekatnya bank syariah sebatas menawarkan produk pembiayaan atau pendanaan kepada calon nasabah yang membutuhkan pendanaan, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif. Praktek ini masih mirip dengan mekanisme pada bank konvensional.

Murabahah: Idola Pembiayaan Bank Syariah
Masyarakat awam mempunyai kesan bahwa bank syariah adalah bank dengan sistem bagi hasil. Semua produk dianggap menggunakan bagi hasil. Padahal bank syari’ah dari fungsi penyaluran dana atau dalam bentuk pembiayaan banyak menawarkan produk pembiayaan dengan model pembiayaan murabahah (jual-beli). Hampir semua bank syariah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah. Sistem penyaluran dana pembiayaan dengan bagi hasil dan lainnya masih sangat sedikit direalisasikan. Sebagaimana pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa produk murabahah masih merupakan produk primadona yang mendominasi dibandingkan produk penyaluran dana yang lain. Produk murabahah rata-rata di atas 50% kecuali di negara Turki yang didomiasi produk ijaroh.

Tabel Penyaluran Dana dalam Produk Bank Syariah di Beberapa Negara[3]

Jenis
Malays
Bahrain
B.desh
Emirat
Jordan
Turki
Murabahah
86,2%
69,9%
61,0%
96,3%
43,9%
17,3%
Ijarah
8,7%
13,3%
13%
-
-
60,6%
Mudharabah
-
-
3,2%
1,6%
-
-
Musyarakah
1.7
7,6%
12,9%
2,1%
2,8%
0,7%
Lainnya
3.4
9,2%
9,9%
-
53,3%
21,4%

Di Indonesia sendiri, dari kasus BNI Syariah bahwa pada akahir tahun 2001 menunjukkan 99% penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan murabahah dan pada akhir tahun 2002 menunjukkan angka 91%.[4] Data Bank Indonesia per Maret 2003 jumlah pembiayaan murabahah mencapai 71,20%, sedangkan pembiayaan bagi hasil, seperti musyarakah dan mudharabah masing-masing baru 1,92% dan 14,57%. Dari total pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp 3,662 triliun, Rp 2,607 triliun di antaranya berupa murabahah. Parahnya lagi, persentase dari transaksi murabahah ini mayoritas untuk konsumsi, bahkan ada cabang bank syariah yang menyalurkan pembiayaannya 90% untuk kredit motor.[5] Persentase ini menunjukkan lebih tinggi daripada praktek murabahah di negara manapun di atas.

Bank Syariah: Problematika dan Solusinya
Dominasi pilihan yang jatuh pada murabahah tersebut disebabkan karena untuk jual-beli itulah kebutuhan riil masyarakat. Apabila dominasi tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian di salah satu bank syariah di Surakarta tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Bank Syari’ah yang menghasilkan temuan di antaranya bahwa alasan yang paling utama dari beberapa nasabah yang memperoleh pembiayaan di Bank Syari’ah utama yaitu ingin menghindari riba (65,96%). Alasan dari beberapa pengusaha yang tertarik untuk menabung dan memperoleh pembiyaan dari Bank Syari’ah ini cukup beragam. Alasan mengapa mereka tertarik pada Bank Syari’ah setelah diperdalam dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keuntungan maka faktor kesesuaian dengan syari’at Islam ini menjadi melemah. Hal ini berarti bahwa ketertarikan masyarakat terhadap Bank Syari’ah masih sangat terbatas pada faktor-faktor yang bersifat emosional, sementara faktor-faktor yang berkaitan dengan akses dan mutu pelayanan belum mendapat perhatian utama.[6]
Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank syariah adalah alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi pada nasabah, yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya secara lebih baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat lemah dan pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang dimaksud di sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya, secara riil keberadaan bank syariah di dunia, khususnya di Indonesia baru dipandang sebagai penyelamatan diri secara emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari problem ekonomi, bahkan secara makro penyelamatan eksistensial, yang menyelamatkan kemanusiaan dari kekuatan kapital yang merongrong eksistensi kemanusiaan, yang berujung pada problem kemanusiaan.
Merujuk pada prinsip dasar perbankan syariah bahwa pola bagi hasil sesuai syariat Islam semestinya produk-produk perbankan yang berupa bagi hasil lebih unggul daripada produk-produk lainnya. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesan bahwa bank syariah Indonesia sebenarnya bukan bank bagi hasil, melainkan “Bank Murabahah”. Sebagian orang bahkan memelesetkan nama Bank Muamalat Indonesia menjadi “Bank Murabahah Indonesia”, Bank Syariah Mandiri menjadi “Bank Syariah Murabahah”. Semestinya pembiayaan bagi hasil lebih tinggi daripada pembiayaan yang lain, karena pembiayaan bagi hasil inilah yang dapat mempercepat pengembangan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan umat. Logikanya, umumnya pembiayaan profit and lose sharing atau revenue sharing tersalur ke sektor riil.
Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang lebih berorientasi konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya kesulitan menembus pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan seperti adanya lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dlaman. Untuk mengatasi hal ini, bank syariah sebenarnya bisa membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan.
Bank syariah dalam prakteknya selama ini juga cenderung melakukan akad murabahah, karena bank syariah ingin memperoleh pendapatan yang tetap (fixed income), dari tingkat keuntungan murabahah yang telah ditentukan. Lebih ironis lagi beberapa kebijakan bank syariah untuk sektor pembiayaan masih relatif sama dengan kebijakan bank konvensional. Padahal kebijakan bank konvensional tersebut tidak tepat untuk diterapkan pada operasional bank syariah, khususnya mengenai kebijakan pada penentuan tarif keuntungan (margin/laba), jangka waktu pembiayaan, jaminan pembiayaan.
Beberapa kendala yang lain sebagai berikut; Pertama, Money Circulation yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, adverse selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis yang memiliki keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah enggan meminta pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang beresiko tinggi yang sering menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha memberikan prospektus proyek yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank tertarik. Ketiga, moral hazard yaitu pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan kepada bank; yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang diberikan juga kecil, padahal pembukuan yang (2) sebenarnya mempunyai keuntungan berjumlah besar.
Idealisme perbankan Syariah adalah perbankan yang dilandasi teori, prinsip ekonomi dan perangkat undang-undang yang mantap. Pelaku-pelakunya mempunyai akhlak yang itqan (tekun), dan Ihsan (profesional) dalam bidang ekonomi, baik yang berperan sebagai produsen, konsumen, pengusaha, dan karyawan. Setiap langkah bisnis harus didasari al-amanah, al-istiqamah, at-taqwa, as-sidq, al-haq dan al-qulb. Antisipasi pada kecenderungan penyimpangan dapat diterapkan metode reward dan punishment (insentif dan sanksi) setiap kali terjadi dalam transaksi. Hal ini untuk mengeliminir kecurangan dan menjaga agar nasabah yang amanah tetap tegar.
Perjalanan perbankan syariah yang masih sangat muda memberikan kesempatan untuk berkembang secara lebih pesat dan dengan dinamika yang agresif dan secara bertahap (gradual). Dasar pijakan yang bisa digunakan adalah penelitian-penelitian tentang perbankan syariah yang dilakukan oleh pihak perbankan syariah, dewan syariah, dan akademisi. Agresivitas dan dinamika yang dilakukan oleh perbankan syariah dilakukan dalam bingkai semangat perbaikan terus menerus.

Kesimpulan
Fenomena yang terjadi pada praktek bank syariah menunjukkan bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam belum menunjukkan perannya yang signifikan dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi umat. Kekuatan bank syariah selama ini hanya bertumpu pada pijakan emosional-ideologis yang memang menjadi kekuatan yang terbesar. Namun akan sangat rentan apabila perkembangan bank syariah tidak menunjukkan perannya yang lebih signifikan pada pengembangan ekonomi dan kesejahteraan umat.
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membuka konsep-konsep pembiayaan yang masih mungkin digulirkan, dengan prosedur yang lebih mudah dan tetap hati-hati. Beberapa perbaikan berkaitan dengan problema di atas adalah peningkatan mutu sistem pembiayaan yang lebih baik. Secara riil adalah menghindari transaksi jual-beli fudhul dan memprioritaskan pembiayaan kepada sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan dan memperkecil kemiskinan. Prosedur yang memberatkan seperti adanya masa pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dlaman. Dengan model ini lapangan kerja akan lebih terbuka dan pada gilirannya kesejahteraan akan menjadi lebih luas sebarannya.

Daftar Bacaan

Ahmad Dahlan, 2002, “Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Artha Kota Tegal (Studi Kasus Tahun 1996-2001),” Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

Bahauddin, 2003, “Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank BNI Syariah Yogyakarta),” Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

Buku Pedoman Perusahaan BNI Syariah, 2000, Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan, Jakarta: BNI Syariah

Majalah MODAL, “Rubrik Gagas, Ulas, Nyeleneh” No. 9/I Juli 2003.

Muhammad, 2003, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah: Mudharabah dalam wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta

Muhammad dan Sholihul Hadi, 2003, Pegadaian Syariah, Yogyakarta, Salemba Diniyah.

Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasional Prinsip Perbankan Islam, Kuala Lumpur, Berita Publishing

Syamsudin, 2003, “Praktek Perbankan Bebas Riba: Studi Kasus di Bank Syari’ah,” Tesis MSI UII Yogyakarta.
[1] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah: Mudharabah dalam wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta, 2003), hal. 22-23.
[2] Buku Pedoman Perusahaan, Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan, (Jakarta: BNI Syariah, 2000) hal. 2-6.
[3] Sumber dari Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasional Prinsip Perbankan Islam, Kuala Lumpur, Berita Publishing; dikutip dari Bahauddin, “Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank BNI Syariah Yogyakarta),” Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Tahun 2003, hal. 8.

[4] Bahauddin, Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank BNI Syariah Yogyakarta), Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Tahun 2003, hal. 9.

[5] Majalah MODAL No. 9/I Juli 2003, “Rubrik Gagas, Ulas, Nyeleneh”, hal. 82.
[6] Syamsudin, Praktek Perbankan Bebas Riba (Studi Kasus di Bank Syari’ah), Tesis MSI UII Yogyakarta Tahun 2003.

Pengaruh Nilai - nilai Sholat dalam Etos Kerja

oleh : Dr. H. Amir Mu'allim, MIS.

MSI-UII.Net - 9/12/2004
Pendahuluan
Tarmizi Taher, saat menjadi Menteri Agama pada tahun 1997 pernah mengadakan kunjungan ke Ceper (Klaten Jawa Tengah) di pusat usaha baja. Menurutnya, di Ceper ia menemukan suatu kenyataan bahwa ada kaitan yang sangat kuat, antara dimensi Spiritualitas dengan kegiatan ekonomi industrial di pedesaan. Dimensi Spiritualitas nampak pada etos kerja masyarakat yang dibangun berdasarkan keyakinan agama, sehingga kegiatan ekonomi mereka tidak dapat dilepaskan dari motivasi agama, yang secara konkrit terlihat pada pengaruh keberhasilan usahanya. Keberhasilan tersebut mendorong mereka untuk ikut serta dalam usaha memajukan kegiatan sosial, pendidikan dan keagamaan masyarakat, seperti membangun sekolah, masjid dan kegiatan sosial lainnya.[1]
Kesan yang disampaikan oleh Tarmizi Taher tersebut senada dengan hasil penelitian Weber pada lingkungan masyarakat Protestan sekte Calvinis. Menurutnya, agama yang bersemangat modernlah yang akan memberikan dorongan, spirit terhadap pertumbuhan ekonomi kapitalisme. Weber menyindir kaum Katolik yang dilihatnya suka hidup membiara.[2] Secara tegas Weber berpendapat bahwa terdapat hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, yakni keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada pranata-pranata yang membentuk masyarakat.[3]
Penelitian yang lain yang dilakukan di Indonesia, yang ‘menguji’ tesis Weber di atas dilakukan antara lain oleh Sayuti Hasibuan di Masyarakat Angkola/Sipirok (1994), Mochtar Naim pada masyarakat Minangkabau (1979), Muhammad Sobary pada masyarakat Betawi (1991), Clifford Geertz di Mojokuto dan Tabanan Bali (1969), Lance Castles pada masyarakat Kudus (1967) dan Irwan Abdullah di Jatinom Klaten (1994). Menurut Nur Hamnah, penelitian-penelitian tersebut menemukan, baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa agama secara terang-terangan maupun diam-diam mendorong adanya semangat kapitalisme industrial, berekonomi modern.[4]
Dari beberapa pendapat dan penelitian yang dilakukan di atas (sejak penelitian Weber hingga di Ceper Indonesia tahun 1997 yang dilakukan Musa Asy’arie), dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran agama mempunyai pengaruh terhadap perilaku ekonomi.
Tulisan ini akan mengkaji tentang nilai-nilai spiritual Shalat dan Pengaruhnya terhadap Etos Kerja. Tulisan ini akan diawali dengan kualitas shalat yang dijalankan oleh musholli dengan mengambil tema perkembangan kualitas musholli. Selanjutnya, akan dibahas tentang spirit shalat dan hikmah tasyri’ sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas musholli; kemudian dibahas tentang etos kerja untuk melakukan analisis dan menghasilkan kesimpulan tentang pengaruh shalat terhadap peningkatan etos kerja.

Perkembangan Kualitas Musholli
Quraish Shihab,[5] dengan merujuk kalimat-kalimat yang diucapkan Sayyidina Ali karramallahu wajhah: “Saya sungguh tercengang. Tidak pernah saya melihat sesuatu yang serius dan pasti, tetapi dianggap remeh seakan tidak akan terjadi, yakni maut. Saya juga tidak melihat sesuatu yang akan ditinggalkan lagi kecil, tetapi diperebutkan seperti yang besar dan kekal, yakni dunia.”; mengungkapkan bahwa: “Saya sungguh bingung dan tercengang menyangkut uraian shalat. Apakah ia merupakan ulangan yang tidak dibutuhkan lagi, mengingat telah lamanya kewajiban ini telah dikenal umat; ataukah ia merupakan uraian yang sangat dibutuhkan mengingat banyaknya umat yang enggan shalat atau ingin tapi tak tahu, akan mengerjakan tapi keliru, atau mendirikan dan melaksanakan tapi tidak menghayati.”
Ungkapan-ungkapan kalimat ini mengandung pengertian bahwa shalat adalah sebuah aktivitas yang menjadi kewajiban yang dilaksanakan berulang-ulang, setiap hari lima kali, sehingga bagi sebagian orang menjadi rutinitas yang membosankan. Kalimat tersebut juga mengungkapkan seringnya penjelasan tentang shalat, karena nilai pentingnya, namun banyak orang yang tidak melaksanakannya, baik karena tidak tahu (tidak mempunyai ilmunya), atau mengerjakan tetapi kurang sempurna dan atau tidak mampu menghayatinya.
Apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab tersebut adalah fenomena mayoritas umat muslim (terutama di Indonesia). Kebanyakan umat muslim yang mengerjakan shalat dengan tanpa penghayatan. Hal inilah yang menyebabkan shalat menjadi hanya rutinitas jasadiyah tanpa makna dan tidak memberikan pengaruh pada kematangan jiwanya. Nilai-nilai yang menjadi implikasi positif tidak menyentuh mereka, apalagi as shalatu tanha ‘anil fakhsya wal mungkar. Hal ini secara tegas dijelaskan oleh Alah SWT dalam Al Qur’an: “Celakalah orang-orang yang shalat, tetapi lalai akan (makna) shalat, yaitu mereka yang riya’ dan menghalangi pemberian bantuan” (QS. 107: 47).
Proses menuju shalat bermakna harus dimulai tahap demi tahap. Sebagaimana pendapat Iqbal,[6] tahap perkembangan religiusitas seseorang dibagi menjadi tiga, yaitu fase keyakinan, pemikiran dan penemuan. Fase keyakinan ditandai dengan disiplin kuat yang harus diterima oleh perseorangan maupun kelompok sebagai perintah tanpa syarat dan tanpa pengertian rasional tentang makna dan tujuan dari perintah tersebut. Fase pemikiran adalah munculnya pengertian rasional terhadap disiplin tersebut dan sumber asasi kekuasaannya. Pada fase ini kehidupan agama mencari landasan pada semacam metafisika, suatu pandangan yang logis mengenai dunia dan Tuhan menjadi bagian pada pandangan tersebut. Fase penemuan, metafisika tergeser oleh psikologi dan selanjutnya kehidupan religius mengembangkan hasrat mengadakan hubungan langsung dengan realitas terakhir. Pada fase ini agama menjadi persenyawaan pribadi antara kehidupan dan kekuasaan, sehingga individu mencapai kepribadian yang merdeka, namun tidak melepaskan diri dari ikatan hukum. Di sini individu menemukan sumber asasi hukum di dalam kedalaman kesadarannya sendiri.
Dalam konteks shalat, pendapat Iqbal dapat diaplikasikan bahwa orang yang shalat (musholli) dalam pandangan Iqbal ini dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase musholli yang menjalankan shalat dengan landasan keyakinan, pemikiran dan penemuan. Musholli yang akan mampu merasakan manfaat dari shalatnya adalah yang telah memasuki fase kedua dan ketiga. Untuk memasuki fase kedua dan ketiga musholli harus memproses dirinya menuju fase kedua, yaitu Fase pemikiran. Proses menuju fase kedua ini dapat dimulai dengan memahami esensi shalat dan hikmah tasyri’ yang ada dalam shalat.

Memahami Spirit Shalat Melalui Esensi Shalat dan Hikmah Tasyri’
Perintah-perintah shalat dalam al-Qur’an, hampir semua menggunakan aqimu. Kata aqimu biasa diterjemahkan dengan “mendirikan”, meskipun terjemahan tersebut tidak tepat. Seperti pendapat mufassir al Qurtuby, aqimu bukan terambil dari kata qoma yang berarti “berdiri” tetapi kata itu itu berarti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah shalat bermakna “melaksanakan dengan baik, khusyuk dan bersinambungan sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya.”[7]
Shalat secara etimologis berarti do’a. Do’a adalah keinginan yang dimohonkan kepada Allah SWT. Jika seseorang memohon, maka harus merasakan kelemahan dan kebutuhan di hadapan Dzat tempat memohon. Shalat yang dilakukan dengan penghayatan bahwa dirinya tak lebih dari seorang hamba, yang menerima karunia berupa segala apa yang melekat pada dirinya; mulai dari bulu mata sampai detakan nafasnya dan rasa kebutuhannya akan kasih, sayang dan pertolongan-Nya, paling tidak akan memberikan kekhusyukan dalam shalat. Jangankan merasakan gempa bumi sampai 8 skala richter, yang mengoyang gunung-gunung dan merobohkan gedung bertingkat, merasakan getaran bom rakitan saja kalang kabut, begitu lemahnya dan butuhnya manusia akan kemurahan Tuhannya![8]
Esensi shalat juga dapat ditelusuri adalah dari pemahaman bahwa shalat adalah kesempatan merasakan berinteraksi dengan Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan oleh sebuah hadis tentang surat al Fatihah (yang merupakan rukun shalat, dan dibaca tiap rekaat) yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Ibnu Ka’ab juga menjelaskan keutamaan surat al Fatihah. Nabi bersabda, “Allah tidak menurunkan surat seperti surat al Fatihah, baik di dalam kitab Taurat dan kitab Injil. Surat al Fatihah adalah surat yang terdiri dari tujuh ayat yang terbagi menjadi dua bagian, satu bagian untuk-Ku dan satu untuk hamba-Ku.” Bagian Allah SWT adalah saat dibaca basmallah sampai maliki yaumiddin, dan bagian hamba adalah mulai iyyakana’budu sampai waladdhollin. Memahami makna ini akan mengantarkan pada kondisi interaksi yang harmonis antara Tuhan Hamba.
Setiap gerakan dan bacaan dalam shalat (termasuk di dalamnya syarat sah dan rukun shalat) mengandung esensi dan hikmatut tasyri’ yang akan memberikan pemahaman dan penghayatan yang sangat penting bagi proses menuju fase-fase religiusitas seseorang. Hikmah tasyri’ yang dimaksud adalah seperti kedisiplinan, kebersihan, kesehatan, sugesti kebaikan, dan kebersamaan. Pengetahuan dan pemahaman secara komprehensip akan memberikan pengertian rasional terhadap shalat dan sumber asasi shalat. Dan pada gilirannya musholli akan menemukan makna dari shalat adalah tiang agama.
Selanjutnya, untuk memasuki pada fase ketiga, di mana musholli pada fase ini menjadikan shalat sebagai persenyawaan pribadi antara kehidupan dan Tuhan, sehingga individu mencapai kepribadian yang merdeka, namun tidak melepaskan diri dari ikatan hukum. Di sini individu menemukan sumber asasi hukum di dalam kedalaman kesadarannya sendiri. Proses untuk menuju fase ketiga adalah dengan pengamalan dan pengamalan dengan tanpa putus asa mengharap. Pada tahap inilah, sebagaimana sering dikemukakan para da’i sebagai penemuan akan manisnya ibadah (shalat). Pada fase ini, shalat adalah kebutuhan hidupnya.

Etos Kerja
Etos adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan batin, moral dan gaya estetis serta suasana hati. Secara ringkas etos adalah sikap mendasar terhadap diri dan terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan. Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, maka etos kerja pada dasarnya merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.
Pebentukan dan penguatan etos kerja tidak semata-mata ditentukan oleh kualitas pendidikan atau prestasi yang berhubungan dengan profesi dan dunia kerja, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan erat dengan inner life-nya, suasana batin, semangat hidup, yang bersumber pada keyakinan atau iman.
Etos kerja dalam Islam dapat disederhanakan menjadi kemasan amar ma’ruf nahi munkar. Makna amar ma’ruf nahi munkar sendiri bisa bersifat untuk diri sendiri dan orang lain. Artinya, makna itu harus terinternalisasi pada setiap diri manusia untuk kemudian bersifat out ward pada orang lain dan lingkungannya[9]. Etos kerja dalam Islam pada dasarnya merupakan perwujudan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas, sebagai kesatuan penjelmaan dari abd’ dan khalifah. Moralitas dapat dilihat sebagai penjelmaan wawasan batin abd, yang fungsinya memberikan arah, tujuan dan pemaknaan dalam mengaktualisasikan daya-daya intelektualnya. Intelektualitas adalah penjelmaan kecerdasan khalifah yang fungsinya untuk merumuskan konsep-konsep pemikiran yang mendalam dan menyeluruh untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia dalam segala aspek kehidupannya secara konkrit.
Unsur-unsur etos kerja. Unsur-unsur etos kerja, baik dalam konsep kapitalis maupun Islam tidak mempunyai perbedaan yang esensial. Keduanya mempunyai persamaan yang meliputi hemat dalam menggunakan uang, menyerahkan sesuatu pekerjaan pada ahlinya dengan tujuan menyerahkan keprofesionalan dalam kerja, pembagian waktu dan efisiensi, serta memiliki jiwa wiraswasta. Hanya saja dalam Islam, jika hasil kerja yang diperoleh “memiliki kelebihan” diwajibkan untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir-miskin, anak yatim melalui zakat. Kerja dalam Islam didasarkan pada tiga unsur, yaitu tauhid, takwa dan ibadah. Tauhid mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah sarana untuk mentauhidkan Allah SWT, sehingga terhindar dari pemujaan terhadap materi. Takwa adalah sikap mental yang mendorong untuk selalu ingat, waspada dan hati-hati memelihara diri dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Ibadah artinya melaksanakan usaha atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sebagai realisasi dari tugasnya menjadi khalifah fil ardl, untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman di dunia dan di akhirat.[10]

Pengaruh Shalat terhadap Kualitas Etos Kerja
Berkaitan dengan shalat yang memiliki esensi sebagai media interaksi dengan Tuhan do’a dan tiang agama, maka saat musholli mampu mendapatkan esensi dan memahami hikmah dan menghayatinya, maka sebagaimana pendapat-pendapat di atas akan memunculkan sikap dan perilaku yang berdasar pemahaman dan penghayatannya terhadap agama. Dan Shalat sebagai tiang agama, maka akan sangat berhubungan apabila kualitas dan kuantitas shalat semakin baik, maka sikap dan perilaku musholli juga akan semakin baik, termasuk di dalam sikap dan perilaku etos kerja.
Musa Asy’arie berpendapat bahwa setiap tahap perkembangan agama (religiusitas) seseorang akan mempengaruhi etos kerjanya.[11] Pada puncak fase perkembangan seseorang (fase ketiga) maka etos kerja yang dibangunnya adalah etos kerja yang memperteguh kemanusiaan yang membebaskan manusia dari segala macam bentuk perhambaan pada ciptaannya sendiri. Etos kerja yang memacu kreativitas dan produktivitas manusia untuk pembebasan dari segala bentuk perhambaan pada hal-hal yang bersifat sementara. Etos kerja yang meletakkan uang, kekuasaan dan ilmu pengetahuan bukan sebagai tujuan, melainkan alat perjuangan spiritual yang mencerahkan dan memperteguh kemanusiaan.[12]
Dinamika psokilogi yang terjadi dalam pengaruh nilai-nilai shalat terhadap profesionalisme kerja (beretos kerja tinggi) adalah sebagai berikut:
1. Niat Ikhlas; musholli yang mampu membangun niat ikhlas dalam melaksanakan shalat berarti mempunyai kekuatan visi yang sangat kuat. Artinya shalat yang bagi banyak orang hanya merupakan rutinitas jasadiyah tanpa makna, maka apabila individu yang mampu keluar dari kungkungan tersebut, berarti telah menemukan visi dalam hidupnya. Dalm konteks dunia kerja, visi ini sangat penting untuk memberikan paradigma dan misi serta tujuan yang jelas bagi apa yang akan dikerjakan seseorang. Sangat berbeda individu yang bekerja dengan pengetahuan dan pemahaman bahwa pekerjaannya mempunyai tujuan dan individu yang bekerja tanpa tujuan. Seorang akademisi yang melakukan penelitian untuk menyelesaikan problem kemanusiaan akan sangat berbeda dengan akademisi yang melakukan penelitian hanya untuk memenuhi poin untuk kenaikan pangkat.
2. Jalan Lurus; Masih berkaitan dengan niat di atas, di samping memberikan kekuatan visi juga akan memberikan nilai-nilai moral bagi musholli, yang mana hal ini juga akan terefleksi dalam dunia kerja yang ditekuninya. Kalau saat ini banyak orang yang rajin shalat namun maksiat juga terus adalah disebabkan yang bersangkutan belum melaksanakan shalat secara benar. Dalam fase perkembangan musholli, ia belum sampai pada fase paling awal, yaitu fase keyakinan, bahkan sangat mungkin shalatnya adalah bukan untuk shalat, tapi untuk yang lain.
3. Nilai-nilai kedisiplinan; seseorang yang dengan baik menjaga shalatnya, akan terinternalisasi dalam dirinya nialai-nilai disiplin. Hal ini karena shalat mempunyai nilai-nilai kedisiplinan yang terletak pada waktu, menjaga kesucian, dan menjaga dari yang membatalkan shalat, bahkan lebih dalam lagi, menjaga hati yang dapat membatalkan shalat. Nilai-nilai kedisiplinan ini akan membentuk musholli mempunyai kedisiplinan yang tinggi dalam sikap dan perilakunya. Dalam konteks profesionalisme kerja ia akan disiplin dalam waktu dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan bersama.
4. Fokusing; Mushollli yang sudah mampu melaksanakan shalat tidak hanya ‘roboh-roboh gedang’, namun juga mampu khusyu berarti ia mampu melakukan konsentrasi secara ketat. Dalam konteks dunia pekerjaan individu yang mampu menfokuskan dirinya pada target, maka kemungkinan mencapai keberhasilan terbuka daripada individu yang tidak mampu bekrja secara terfokus.
5. Komitmen pada kemanusiaan; Musholli yang memahami dan menghayati aktivitas shalatnya, maka terinternalisasi dalam dirinya nilai-nilai kepedulian terhadap kemanusiaan. Hal ini dapat dipahami dari makna salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri, yang berarti memberikan/mengharap keselamatan/kesejahteraan bagi orang dan alam di sekelilingnya. Dalam konteks dunia bekerja, maka dia akan berusaha untuk beraktivitas yang tidak menyakiti orang-orang di sekitarnya.

Penutup
Shalat yang dijalankan dengan landasan fase pemikiran dan fase penemuan akan mempunyai korelasi bahkan pengaruh terhadap peningkatan kualitas etos kerja. Musholli yang sampai pada fase penemuan akan menemukan juga kesejatian dirinya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun hubungannya dengan manusia.

Daftar Bacaan

Al Qur’an

M. Quraish Shihab, 1997, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cetakan VIII, Bandung: Mizan.

Max Weber, 1958, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons, New York: Charles Scribners.

Musa Asy’arie, 1997, Islam: Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi bekerjasama Institut Logam.

Nur Hamnah, 2000, Etos Kerja: Telaah Perbandingan Kapitalis dan Islam, Tesis MSI UII Yogyakarta

Taufik Abdullah (ed.), 1988, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, cet. IV, Jakarta: LP3ES.

Aplikasi Asuransi syari'ah

Akad (Perjanjian) Asuransi Syariah

Perusahaan yang mengendalikan asuransi syariah adalah perusahaan yang berbentuk syarikat al-inan[1], perusahaan inilah yang bertanggungjawab mengendalikan setiap perlindungan kepada anggota masyarakat yang ingin menyertainya melalui produk yang telah disusun dengan jelas tanpa ada pertentangan dengan kehendak syariah.

Adapun perusahaan asuransi adalah yang melaksanakan akad atau perjanjian al-Mudharabah.[2] Perusahaan bertindak sebagai al-mudharib atau pengusaha dengan menerima uang premi peserta untuk diuruskan. Peserta bertindak sebagai sahib al-mal atau pemilik harta dengan menyerahkan uang premi atau ra’su al-mal untuk diuruskan oleh mudharib. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan bagaimana keuntungan dari perjalanan produk dan dibagikan antara perusahaan dengan peserta sebagai sahib al-mal, umpamanya, 6:4, 5, 5:4,5 atau 5:5 dan sebagainya.

Perusahaan juga boleh menggunakan bentuk perjanjian Wadi’ah Yad dhamanah.[3] Perusahaan bertindak sebagai mustawda’ (penyimpan dana) dengan menerima premi untuk diuruskan. Peserta bertindak sebagai Shahib al-mal atau mawaddi’ atau pemilik harta yang menitipkan hartanya dan menyerahkan uang ta’awunnya untuk diuruskan oleh mustawda’. Dalam perjanjian tersebut perusahaan akan memberikan bonus kepada peserta sebanyak 60% dari keuntungan perusahaan dan dibagi secara proporsional.

Dalam perjanjian tersebut disebutkan juga berapa persen dari premi akan diambil oleh perusahaan untuk dana operasional dari peserta untuk menolong saudaranya yang ditimpa musibah. Dana ini disebut dana Ta’awun. Adapun sisa uang premi akan diinvestasikan oleh perusahaan kepada perniagaan yang dibenarkan oleh Islam.

Jadi intisarinya asuransi syariah dapatlah disimpulkan sebagai satu usaha kerjasama saling melindungi dan tolong-menolong antara anggota-anggota masyarakat yang sama-sama ingin mendapatkan perlindungan bagi menghadapi kemungkinan musibah dan bencana. Usaha ini dikendalikan oleh perusahaan sebagai mustawda’ atau mudharib melalui produk-produknya yang disusun berdasarkan syariat Islam. “Dan hendaklah kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam mengerjakan dosa dan permusuhan.” (Maksud ayat al Maidah:2).

Konsep Perlindungan Asuransi Syariah
Perlindungan asuransi syariah adalah suatu bentuk perlindungan bagi orang perseorangan atau kumpulan yang berikhtiar membuat persediaan menghadapi musibah yang akan menimpa dirinya. Kalau musibah menimpa dirinya, mungkin ia akan meninggal dunia atau cacat seumur hidup, sehinga ia terganggu untuk mencari harta. Maka melalui asuransi syariah seseorang itu dapat berikhtiar atau merancang untuk meninggalkan sejumlah uang kepada ahli warisnya, jika ditakdirkan ajalnya tiba, ataupun ia dapat menyediakan sejumlah uang untuk bekalan hidup di hari tuanya.

Peserta mendapatkan perlindungan dengan tujuan berikut:
1. Peserta menyimpan atau menabung secara terus menerus;
2. Uang dalam rekening yang terkumpul diinvestasikan bagi mendapat keuntungan;
3. Menyediakan perlindungan dalam bentuk manfaat asuransi kepada peserta yang ditimpa musibah;
4. Mengembalikan bagian simpanan dan bagian keuntungan kepada peserta yang tidak ditimpa musibah.

Sistem Operasional Asuransi Syariah dan Mamfaat asuransi

Sistem Operasional Asuransi Syariah
Seseorang yang mengikuti produk asuransi syariah disebut peserta. Peserta boleh memilih satu atau beberapa produk asuransi yang disediakan. Semua produk mengandung tempo matang yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Setelah itu peserta membuat perjanjian dengan perusahaan dalam bentuk perjanjian wadi’ah atau mudharabah dan dalam itu diterangkan dengan nyata tentang hak dan kewajiban masing-masing.

Peserta dikehendaki membayar premi produk yang diikutinya. Jumlah premi tergantung dengan kemampuan peserta, dan ia tidak boleh kurang dari jumlah minimal yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Bayaran premi boleh dibuat bulanan, triwulan, enam bulan, tahunan atau sekaligus, sesuai dengan kemampuan peserta.

Setiap kali premi dibayarkan, maka perusahaan akan membagi premi ini kepada dua rekening yang dikenali dengan rekening peserta, rekening khusus peserta. Sebagian besar dari premi akan dimasukkan ke dalam rekening peserta untuk tujuan tabungan dan investasi. Sisanya akan dimasukkan ke dalam rekening khusus peserta sebagai dana sedekah atau ta’awun untuk keperluan membayar manfaat asuransi kalau ada di antara peserta yang ditimpa musibah.

Uang rekening peserta dan rekening khusus peserta akan disatukan dalam suatu kumpulan uang untuk diinvestasikan dalam bentuk investasi yang dibenarkan oleh syariat Islam. Adapun keuntungan yang diperoleh dari usaha investasi yang diuruskan oleh perusahaan akan dibagi mengikut perjanjian mudharabah atau wadhiah yang telah disepakati antara peserta dan perusahaan. Bagian keuntungan untuk peserta akan dimasukkan ke rekening peserta, maka dengan sendirinya tabungan peserta akan bertambah. Adapun keuntungan bagi rekening khas peserta dari keuntungan investasi akan dimasukkan ke dalam rekening khusus peserta.

Manfaat Asuransi
Manfaat asuransi akan diberikan kepada peserta apabila:
1. Dengan berasuransi cara syariah peserta secara otomatis telah melaksanakan ibadah yang bersifat muamalah dan akan menimbulkan keuntungan duniawi dan ukhrawi.
2. Peserta telah ikut berjuang menegakkan hukum-hukum Allah secara tidak langsung, dengan demikian ia telah dicatat sebagai salah seorang mujahid dalam bidang ekonomi yang berdasarkan prinsip ilahi.
3. Peserta meninggal dunia sebelum jatuh tempo (masih dalam pertanggungan). Disamping itu ahli waris peserta juga akan menerima bagian keuntungan dari investasi yang diperuntukkan kepadanya sesuai dengan perjanjian mudharabah atau wadi’ah..
4. Peserta masih hidup hingga jatuh tempo (masa pertanggungan selesai)
5. Peserta mengundurkan diri sebelum jatuh tempo (sebelum masa pertanggungan selesai).
6. Peserta secara ikhlas telah berinfak membantu sesama manusia yang ditimpa kesukaran atau musibah, secara otomatis ia telah menjalankan ketentuan-ketentuan Allah dalam al-Qur’an seperti isi surat al-Baqarah: 177.

Poin 3 Apabila peserta meninggal dunia sebelum masa pertanggungan selesai, maka:
a. Ahli waris akan menerima bayaran manfaat asuransi syariah sebesar jumlah nominal ansuran (premi) yang telah disetorkan oleh peserta yang masuk ke rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
b. Ahli waris juga akan menerima sisa saldo ansuran (premi) asuransi yang seharusnya dilunasi oleh para peserta. Jumlah saldo ini dihitung mulai tanggal meninggalnya sampai dengan selesai masa pertangungannya. Dana untuk maksud ini diambil dari rekening khusus seluruh peserta asuransi yang terdaftar.

Poin 4 apabila peserta asuransi masih hidup sampai pada masa pertanggungan selesai, maka yang bersangkutan akan:
a. Menerima kembali seluruh ansuran (premi) nya yang pernah disetorkan ditambah dengan keuntungan hasil investasi.
b. Menerima manfaat dari rekening khusus peserta.
c. Ket v Apabila peserta mengundurkan diri karena sebab yang tidak bisa dielakkan, sedangkan masa pertanggungan masih ada maka yang bersangkutan akan mendapatkan kembali semua premi yang diletakkan pada rekening peserta ditambah dengan keuntungan hasil investasi.

Ekonomi Islam

Telaah Terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 31/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pengalihan Hutang
oleh : Mardhiyah Hayati

MSI-UII.Net - 23/9/2005
Penulis adalah Mahasiswi Konsentrasi Ekonomi Islam
Magister Studi Islam Program Pascasarjana
Universitas Islam Indonesia (MSI PPs UII),
Yogyakarta Indonesia


A. Pendahuluan
Dalam Islam, manusia di wajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rizki guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah, sehingga rizki-Nya sangat luas. Bahkan Allah tidak memberikan rizkinya itu kepada kaum muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras.
Untuk memulai suatu usaha seperti itu diperlukan modal, seberapapun kecilnya. Adakalanya orang mendapatkan modal dari simpanannya atau dari keluarganya. Ada pula yang meminjam dari rekan-rekannya. Jika tidak tersedia, maka peran institusi keuangan menjadi sangat penting, karena dapat menyediakan modal bagi orang-orang yang ingin berusaha.
Bank adalah perantara keuangan masyarakat yaitu perantara dari mereka yang kelebihan uang dengan mereka yang kekuarangan uang. Kalau peranan ini berjalan baik barulah bank bisa dikatakan sukses. Jadi, bagaimana bank, melayani sebaik-baiknya mereka yang kelebihan uang dan menyimpan uangnya di dalam tabungan, deposito dan sebagainya serta melayani kebutuhan uang masyarakat melalui pemberian kredit.
Karena itu, semua servis bank kepada masyarakat, peralatan canggih yang dimiliki, ketrampilan personil dan lain-lainya, adalah dalam rangka menjalankan peranan sebagai perantara keuangan, artinya menjalankan dua fungsi utama bank, yaitu:
1. Menghimpun dana masyarakat (to receive deposits);
2. Memberikan kredit (to make loans).[1]
Dalam rangka pemberian kredit kepada nasabah maka Dewan Syari'ah nasional mengeluarkan fatwa No: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang pengalihan hutang, yang dimaksud dengan Pengalihan hutang ini adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah.

B. Pembahasan
1. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pengalihan Hutang
Di antara keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional tentang pengalihan hutang yaitu:[2]

Pertama: Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/ lembaga keuangan konvensional ke bank/ lembaga keuangan syariah;
2. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati;
3. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS.
4. Aset adalah asset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayaran kreditnya.

Kedua: Ketentuan Akad
Akad dapat dilakukan dengan empat alternatif berikut:
Alternatif I:
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah sepenuhnya.
2. Nasabah menjual asset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menjual secara murabahah asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qardh dan fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tantang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.

Alternatif II:
1. LKS membeli sebagian asset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.
2. Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan hutang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3. LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini.


Alternatif III:
1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas asset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/VI/2002.
2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2.
4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2.

Alternatif IV:
1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara.
2. Nasabah menjual asset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
3. LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.

Ketiga: Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Keputusan Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

Yang menjadi pertimbangan utama dikeluarkannya fatwa ini adalah:[3]

a. bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah

b. bahwa lembaga keuangan syariah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya melalui akad pengalihan hutang oleh LKS

c. Bahwa agar akad tersebut dilaksanakan sesuai dengan syariah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk menjadi pedoman.

Mengingat: 1. Firman Allah SWT. QS. Al-Maidah (5: 1):
" Hai orang yang beriman ! Penuhilah aqad-aqad itu …"

2. Firman Allah SWT. QS. Al-Isra' (17): 34:

" …dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."

3. Firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2) :275

" …dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.."

4. Firman Allah SWT. QS. Al-Ma'idah (5): 2

"… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."

5. Firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah (2): 275 yang artinya:

" Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya"

6. Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi saw bersabda yang artinya:

"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. "

7. Hadits Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daruquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi saw bersabda:

"Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."

8. Kaidah Fiqh:

a. Pada dasarnya, semua bentuk mu'amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya

b. Kesulitan dapat menarik kemudahan

c. Keperluan dapat menduduki posisi darurat"

d. Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)"


C. Telaah Terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pengalihan Hutang
Bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu transaksi yang dijalankan oleh seorang muslim haruslah berdasarkan prinsip an taraddin minkum, dan tidak boleh ada pihak yang menzalimi atau dizalimi. Prinsip dasar ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan bisnis, termasuk dalam praktek perbankan. Identifikasi transaksi yang dilarang dalam Islam memberi gambaran bahwa bank konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Suatu hal yang menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi,[4] dan ketika masyarakat muslim di Indonesia mulai menyadari dan ingin memindahkan semua transaksi yang telah dilakukannya dengan bank konvesional, baik berupa tabungan, deposito dan utang ke perbankan syariah, maka bank syariah harus segera meresponnya. Jangan sampai orang yang sudah berniat baik untuk meninggalkan transaksi yang ribawi kembali terjerumus dalam transaksi itu lagi.
Masalah perbankan termasuk dalam muamalah, maka nabi Muhammad Saw, tentunya tidak memberikan aturan-aturan yang rinci mengenai masalah ini. Bukankah nabi sendiri telah menyatakan bahwa kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Al-Qur,an dan sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar, dan menegaskan larangan-larangan yang harus dijauhi. Dengan demikian, yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi hal-hal yang dilarang dalam Islam. Selain itu, semua diperbolehkan dan kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas sebanyak mungkin.[5]
Dalam implementasinya, upaya pengembangan perbankan syariah memerlukan aturan-aturan syariah yang mengikat bagi perbankan syariah.[6] Dalam kaitan ini, fatwa yang terkait dengan perbankan syariah yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),[7] sangat bernilai dan berperan besar sebagai referensi utama dalam proses penyusunan peraturan Bank Indonesia bagi perbankan Syariah.
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/ lembaga keuangan konvensional ke bank/ lembaga keuangan syariah. Akad dalam transaksi ini menurut Dewan Syari'ah Nasional (DSN) dapat menggunakan empat alternatif yaitu:
1. Al-Qardh, adalah akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat secara angsuran atau sekaligus.[8] Al-Qard adalah merupakan akad saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi komersial.[9]
Akad Murabahah adalah akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank memberikan barang yang yang diperlukan nasabah dan menambahkan nilai mark-up (kenaikan) sebelum menjual kembali barang tersebut kepada nasabahnya sesuai perjanjian laba dengan prinsip 'tambah biaya' (cost Plus).[10]
BRI Syariah cabang Yogyakarta dalam akad pengalihan hutang antar bank menggunakan sistem ini, yaitu menggunakan akad jual beli dan meminta jaminan atas pinjaman kepada nasabah. Tetapi terlebih dahulu pihak nasabah mengajukan permintaan kepada pihak bank dan mengisi formulir pendaftaraan yang sudah disediakan oleh bank. Akad ini sangat jarang terjadi tetapi bila ada calon nasabah yang menginginkan akad ini maka BRI Syariah menetapkan mark-up.[11]
Jika di dalam transaksi pengalihan hutang antar bank ini hanya menggunakan akad al-Qard saja, maka bank syariah tidak boleh meminta imbalan dari transaksi tersebut karena sifat transaksi ini adalah menolong.
Tetapi apabila transaksi itu berjangka waktu pendek maka akad ini tidak bisa digunakan. Hal ini dikarenakan tidak dimungkinkannya persiapan bagi hasil karena sulitnya menentukan keuntungan dalam waktu yang relatif pendek. Dalam hal ini dinyatakan bahwa akan terjadi konflik antara peminjam (yang tentu saja senang meminjam sejumlah uang tanpa bunga dengan ongkos pelayanan kecil) dan pemberi pinjaman (bank) yang ragu-ragu dalam meminjamkan uangnya, meskipun dalam periode yang sangat pendek, kepada peminjam walau diketahui akan mendapat keuntungan dari pinjaman meskipun sukar untuk menentukan besarnya laba tersebut. Mengingat resiko tidak dibayar dapat menimpa pinjaman semacam ini, sehingga pinjaman-pinjaman seperti ini tidak tersedia dalam sistem Islam. Dengan demikian, mayoritas pembiayaan yang jangka waktunya bersifat sangat pendek harus dibuat dari bagian persetujuan mudharabah atau syirkah agar menimbulkan kepuasan pihak peminjam dan pemberi pinjaman. Dalam kasus-kasus yang terjadi lembaga finansial selalu dapat mempertimbangkan penyediaan bantuan tambahan karena saham bagi hasilnya akan tergantung pada keseluruhan pembiayaan yang disediakan berdasarkan rata-rata harian.[12]
Di dalam transaksi pengalihan hutang ini, Dewan Syariah Nasional memberikan altenatif kepada Bank Syariah untuk menggunakan dua akad yaitu akad Qard dan akad Murabahah. Akad Qard dan akad Murabahah adalah merupakan akad yang saling bertentangan. Hal ini disebabkan di dalam akad Qard pihak bank tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari transaksi ini, karena transaksi ini merupakan transaksi tolong-menolong, sedangkan jika bank menggunakan akad Murabahah dalam transaksi ini berarti bank mengambil keuntungan dari nasabah melalui mark-up, ini berarti sifat tolong menolong dalam transaksi ini hilang karena bank mencari keuntungan (komersial) dari transaksi ini. Jadi di dalam transaksi ini, bank syariah tidak dapat menggunakan kedua akad tersebut tetapi harus memilih salah satu akad tersebut.
2. Syirkah. Syirkah dalam bahasa arab berarti percampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sementara dalam terminologi ilmu fiqh, syirkah yaitu Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi.[13]
Transaksi ini dapat dilakukan tetapi kebebasan nasabah di dalam menjalankan usahanya menjadi terbatas karena adanya campur tangan bank di dalam usahanya.
3. Ijarah adalah akad sewa menyewa barang antara bank (Muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir.[14]
Dalam Transaksi Ijarah ini, memang dimungkinkan nasabah bebas menjalankan usahanya tanpa campur tangan bank tetapi setelah akad ini selesai nasabah tidak bisa memiliki barang/ alat yang digunakan di dalam usahanya, karena harus dikembalikan lagi kepada bank syariah.
4. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh ( ÇáÜãÜáÜß ÇÜáÜÊÇã ), atau Nasabah menjual asset kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS atau LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
Yang dimaksud dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) adalah kombinasi antara sewa menyewa (Ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini, yaitu :
a. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa
b. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.[15]
Pilihan untuk menjual barang di akhir sewa (poin a), biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar uang sewa relatif kecil. Karena sewa yang dibayarkan relatif kecil, akumulasi nilai sewa di akhir periode sewa belum mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu untuk menutupi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang tersebut di akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir sewa (poin b), biasanya diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar uang sewa relatif besar Karena sewa yang dibayarkan relatif besar, akumulasi nilai sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Karena itu bank dapat menghibahkan barang tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki.
Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.


III. Kesimpulan

Ditinjau dari segi imbalan atau jasa atas penggunaan dana, baik simpanan maupun pinjaman, bank dapat dibedakan menjadi:
Bank Konvensional, yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana, memberikan dan dalam rangka penyaluran dananya, memberikan dan mengenakan imbalan berupa bunga atau sejumlah imbalan dalam prosentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Prosentase ini biasanya ditetapkan per tahun.

Bank syariah yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.

Ketika masyarakat muslim di Indonesia mulai banyak yang menyadari tentang pelarangan riba dalam ajaran Islam dan ingin memindahkan transaksi utang yang telah dilakukannya dengan bank konvesional ke perbankan syariah, maka bank syariah harus segera meresponnya. Jangan sampai orang yang sudah berniat baik untuk meninggalkan transaksi yang ribawi kembali terjerumus dalam transaksi itu lagi.
Dalam Pengalihan hutang antar Bank ini, Qardh dengan akad Murabahah adalah jenis transaksi yang kurang sesuai, karena kedua akad ini mempunyai sifat yang berbeda, yaitu disatu sisi akad Qard tidak boleh mengambil keuntungan tetapi di sisi lain akad murabahah menetapkan mark-up dalam mencari keuntungan. Di dalam transaksi pengalihan hutang ini bank syariah harus memilih salah salah satu akad dari keduanya.
Selain itu dalam transaksi pengalihan hutang akad Ijarah saja kurang tepat, karena setelah masa penyewaan ini berakhir nasabah tidak bisa memiliki barang tersebut tetapi kalau Ijarah al-muntahia bitamlik bisa juga dilakukan, karena akad ini merupakan akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan pengalihan barang dari bank ke nasabah. Dan di dalam akad ini pihak nasabah mempunyai kebebasan penuh di dalam penggunaan modalnya. Akad Ijarah al-Muntahia bitamlik ini hanya bisa dilakukan apabila transaksi pengalihan hutang ini dalam bentuk barang yang dapat disewa dan bukan dalam bentuk uang, karena Ijarah al-muntahia bitamlik merupakan prinsip sewa-menyewa.


Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000

Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, Jakarta: Tazkia Institute, 2001

Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000

Chapra, M. Umer, Islam dan tantangan Ekonomi; Islamisasi Ekonomi Kontemporel, Surabaya, Risalah gusti, 1999

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Edisi Kedua diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Bank Indonesia., 2003