Senin, 09 Juni 2008

Hak Cipta Dalam Perspektif hukum Islam

A. Pendahuluan
Kelebihan istimewa yang dimiliki manusia adalah kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Dengan menalar manusia mampu mencipta dan mengembangkan pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip membedakan antara makhluk tingkat rendah dengan makhluk tingkat tinggi, yaitu manusia. Ilmu menjadi furqan (pembeda) antar makhluk, bahkan pembeda kualitas antar manusia itu sendiri.[1]
Kemampuan manusia dalam berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya seperti; ditemukannya Mesin Cetak oleh Johann Gutenberg (1400-1468) pada tahun 1436,[2] Mesin Pintal atau tekstil oleh Sir Richard Arkwrigt (1732-1792) dan Jemes Hargreves (?-1778),[3] Mesin Uap oleh James Watt (1736-1819),[4] teori grafitasi, kalkulus, dan spectrum cahaya oleh Isaac Newton (1642-1727),[5] dan lain sebagainya.
Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal-hal baru tersebut telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Pada abad Kuno, hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan (Gesetez). Mereka menganggap bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti; rumah, tanah, atau benda lainnya.[6]
Adalah Corpus Juris yang pertama kali menyadari kehadiran hak milik baru yang merupakan ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan di atas kertas. Namun demikian pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (Materielles Eigentum) dan benda tidak nyata (immaterielles Eigentum) yang merupakan produk kreatifitas manusia. Istilah Immaterielles Eigetum inilah yang sekarang disebut dengan hak milik intelektual (HAMI), atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang merupakan terjemahan dari dari kata “geistiges eigentum”, atau “intellectual property right”.[7]
Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual telah dilakukan sejak dahulu. Sebagai Negara bekas jajahan Belanda, maka sejarah hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir seluruh pelaturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda). Undang-undang hak cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang berasal dari Belanda yang diamandemen oleh UU No 6 tahun 1982 yang mendapat penyempurnaan pada tahun 1987. Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992 mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.[8]
Ulasan di atas adalah pandangan hukum positif terhadap masalah hak cipta. Bagaimana padangan Islam terhadap masalah tersebut? Apakah perhatian Islam yang sangat besar terhadap masalah harta kekayaan dan hak individu juga membahas masalah tersebut? Serta bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap pembajakan kekayaan intelektual (hak cipta)? Masalah-masalah inilah yang akan coba dipaparkan dalam makalah ini.

B. Pembahasan.
Pengertian Hak Cipta.
Yang dimaksud dengan hak cipta sebagaimana diungkapkan dalam pasal 1 ayat 1 UUHC No. 16 tahun 2002 adalah; Hak eksklusif[9] bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.[10]
Teori Hak Dalam Islam.
Apabila menelusuri dalil-dalil yang terkandung dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, masalah hak cipta belum mempunyai dalil atau landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan atas hak cipta itu sendiri merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian, secara implisit, perlindungan terhadap hak cipta ditemukan dalam sistem hukum Islam. Hal ini dikarenakan konsep hak itu sendiri dalam prespektif hukum Islam, tidak baku dan berkembang secara fleksibel dan implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.
Di antara para pemikir Islam, Imam al-Qurafi adalah tokoh Islam pertama yang membahas masalah hak cipta. Dalam kitabnya yang berjudul al-Ijtihadat Imam al-Qurafi berpendapat bahwa hasil karya cipta (hak cipta) tidak boleh diperjual belikan, karena hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari sumber aslinya. Namun demikian pendapat Imam al-Qurafi tersebut dibantah oleh Fathi al-Daraini yang berpendapat bahwa hak cipta merupakan sesuatu yang bisa diperjual belikan, karena adanya pemisahan dari pemiliknya. Dalam masalah hak cipta ini Fathi al-Daraini mensyaratkan harus ada standar orisinalitas yang membuktikan keaslian ciptaan tersebut.[11]
Mengkaji masalah hak cipta dalam tinjauan Islam, penulis akan memulainya dengan membahas pandangan Islam terhadap hak itu sendiri. Hak (al-haqq) secara etimologi berarti milik; ketetapan dan kepastian. Menurut terminologi, ada beberapa pengertian hak yang dikemukakan para ulama fiqh. Sebagian ulama mutaakhkhirin (generasi belakangan) hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara. Syeikh al-Khafifi (ahli fiqh Mesir) mengartikannya sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara. Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh Yordania asal Suriah) mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara suatu kekuasaan. Lebih singkat lagi, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) ahli fiqh Madzhab Hanafi mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang terlindung.[12]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy membagi pengertian hak kepada dua bagian, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Hak secara khusus didefinisikan sebagai “Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan sesama manusia, baik mengenai individu (orang), maupun mengenai harta”.[13] “Kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang atas yang lainnya”.[14]
Secara umum, hak diartikan sebagai “Suatu ketentuan yang dengannya syara’ menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”.[15]
Sumber hak itu sendiri menurut Ulama fiqh ada lima, yaitu; Pertama, syara’, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan. Kedua, akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf dalam pemindahan hak milik. Ketiga, kehendak pribadi, seperti janji dan nazar. Keempat, perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang. Kelima, perbuatan yang menimbulkan kemadaratan bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan barang milik orang lain.[16]
Teori Pemilikan Harta Dalam Islam.
Dalam UUHC Pasal 3 disebutkan bahwa; (1) hak cipta dianggap sebagai benda bergerak, (2) hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh atau sebagian kerena; Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.[17] Dengan demikian, maka hak cipta termasuk harta yang bisa dimiliki oleh seseorang secara sah.
Apabila melihat khazanah fiqh Islam, ditemui beberapa teori tentang harta. Harta (al-Mal) asal kata mala (condong atau berpaling dari tengah kesalah satu sisi), dimaknai sebagai; “Segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara. Baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat”. Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan harta dengan; “Segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan ketika dibutuhkan”, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Jumhur Ulama mendefinisikan harta sebagai “segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya”.[18]
Bagi Jumhur Ulama harta tidak hanya bersifat materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Hal ini berbeda dengan Ulama Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa pengertian harta hanya bersifat materi, sedangkan manfaat termasuk kedalam pengertian milik.[19] Oleh karena itu, ulama madzhab Hanfi berpendirian bahwa hak dan manfaat tidak bisa diwariskan, karena hak waris-mewariskan hanya berlaku dalam persoalan materi, sedangkan hak dan mafaat menurut mereka bukan harta. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, hak waris-mewariskan itu tidak hanya yang menyangkut materi, tetapi juga berkaitan dengan hak dan manfaat, karena semua itu mengandung makna harta (materi), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW;”Siapa yang wafat meninggalkan harta dan hak, maka (harta dan hak tiu) menjadi milik ahli warisnya…(HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).[20]
Pendapat Jumhur Ulama bahwa “orang yang merusaknya wajib menanggung”, memberi isyarat tentang pandangan mereka terhdap nilai (qimah) sesuatu. Artinya, setiap yang mempunyai nilai, maka mempunyai manfaat, sebab segala sesuatu yang mempunyai nilai pasti memberi manfaat. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki nilai dan manfaat tidak dipandang sebagai harta. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa nilai merupakan sandaran sesuatu yang dipandang sebagai harta, dan nilai itu sendiri dasarnya adalah manfaat. Maka dapat disimpulkan bahwa manfaat merupakan asal dalam memberi nilai dan memandang sesuatu.[21] Sesungguhnya manfaat adalah maksud yang nyata dari semua benda.[22]
Ibn ‘Arafah berpendapat bahawa; “Harta secara lahir mencakup benda (‘ain) yang bisa diindra dan benda (‘ard) yang tidak bisa diindra (manfaat). Ia mendefinisikan al-‘aradl sebagai manfaat yang secara akal tidak mungkin menunjuk kepadanya. Hal ini mencakup karya cipta yang sebenarnya merupakan pemikiran manusia yang tidak mungkin dimanfaatkan kecuali mengaitkannya kepada pencipta dan sumbernya, yang mengambil bentuk materi, seperti buku dan lain sebagainnya.[23] Apabila manfaat dikategorikan sebagai harta sebagaimana berlakunya sifat kehartaan kepada benda, maka terhadap manfaat juga belaku hak milik sebagaimana terhadap benda, selama pemanfaatannya tersebut dibolehkan menurut syara’.[24]
Teori tentang harta di atas memberi kesimpulan bahwa hasil karya cipta (hak cipta) adalah pekerjaan dan merupakan harta yang bisa dimiliki baik oleh individu maupun kelompok. Basisi milik pribadi adalah menghormati hak individu dan menghargai harapan dan keinginan untuk leluasa berkehendak, berkreativitas, dan berimovasi. Islam ingin mendorong siapa saja untuk berupaya dan bekerja semakasimal mungkin dan mengharapkan hasil jerih payahnya.[25]
Hukum Pembajakan Hak Cipta
Permasalahan mengenai Hak Cipta (HAKI) akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Cipta. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Cipta (HAKI). Dengan adanya perlindungan hukum terhadap hasil karya cipta, maka pencipta atau penerbit memiliki dan menguasai hasil karya ciptanya tersebut.
Dalam pasal 29 dan 30 UUHC dijelaskan, yang termasuk hak cipta adalah; buku, famplet, dan semua hasil karya tulis, drama, tari kreografi, segala bentuk seni rupa, seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, alat peraga, peta, terjemahan, saduran, tafsir, program computer, sinematografi, database, dan lain sebagainnya.
Dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 49 ayat 1 UUHC dijelaskan bahwa; Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya. Pada ayat 2 juga dijelaskan bahwa; Produser rekaman suara meiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi. Kemudian dalam pasal 72 ayat 1 dijelaskan bahwa; Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1 dan 2 dipidana dengan pidanan 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).[26] Dengan demikian, jelaslah bahwa pelanggaran terhadap hak cipta merupakan tindak kejahatan pidana yang bisa dikenai hukuman.
Dalam Islam, digariskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sah (benar dan halal) seperti; harta yang diperoleh dari hasil kerja keras, harta yang diambil dari benda yang tidak bertuan, harta yang diambil atas dasar saling meridlai, harta yang diperoleh dari waris, wasiat, hibah, dan lain sebagainnya, adalah wajib dilindungi baik oleh individu maupun masyarakat.[27] Dalam penjelasan terdahulu telah dijelaskan bahwa hak cipta atau hak intelektual adalah harta yang diperoleh dengan cara yang sah yaitu hasil kerja kreatif baik individu maupun kelompok, dalam hal ini Bahesti berpendapat bahwa kerja kreatif adalah sumber utama kepemilikan manusia[28]. Oleh karena itu, hak cipta termasuk salah satu milik (kekayaan) yang harus dijaga baik oleh si pemilik maupun masyarakat.
Allah SWT berfirman; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta yang beredar di antara kamu dengan cara batil.[29] Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman; Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.[30]
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Darulqutni dari Anas Rasulullah SAW bersabda; Tidak halal harta milik orang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.[31] Pencurian atau pembajakan dalam syari’at Islam berlaku hanya terhadap benda bergerak yang bermateri, sebab pencurian menuntut adanya syarat yang harus dipenuhi, yaitu benda yang dicuri berupa benda bergerak, dianggap sebagai harta (berharga), dihormati, memiliki tempat penyimpanan yang layak, dan penjagaan.[32]
Dalam fiqh jinayat disepakati bahwa selain benda bergerak yang bermateri seperti benda-benda yang maknawi semacam hak (huquq), ciptaan (ibtikar) dalam berbagai bentuknya tidak cocok untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Harta ini apabila telah menjadi bentuk materi seperti buku, kaset, cd, dan lain sebagainya, maka menjadi benda bergerak dan bermateri yang pantas untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap hak cipta apabila sudah menjadi benda bergerak dan bermateri.[33]
Luthfi as-Syaukanie berpendapat bahwa segala usaha yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain adalah haram untuk dilakukan. Pembajakan hak cipta dilarang oleh syara’ karena diqiyaskan dengan mengambilalih barang milik orang lain secara haram. Usaha seperti ini sama artinya dengan perbuatan mencuri, yaitu mencuri harta kekayaan yang berbentuk produk pemikiran. Menggandakan atau menjual hak cipta orang lain tanpa izin pencipta dianggap sebagai jenis usaha memperoleh harta kekayaan secara haram. Keharamannya terjadi karena karya cipta merupakan harta kekayaan yang dihasilkan dari kemampuan intelektual. Dengan kata lain, karya cipta adalah produk pemikiran yang menghasilkan uang.[34]
M. Hutauruk berpendapat bahwa jual beli peroduk bajakan mengandung bahaya (dlarar), karena merugikan orang lain dan tidak mematuhi undang-undang. Bahaya itu bisa berwujud materi atau moral walaupun dari satu sisi kelihatannya seolah-olah menolong masyarakat banyak dengan harganya yang lebih murah. Bentuk kerugian itu di antaranya; Pertama, pembajak tidak menyadari dan menghargai jerih payah pencipta untuk menghasilkan karyanya yang telah menghabiskan waktu, tenaga, dan dana. Kedua, pembajak tidak mengakui jasa pencipta untuk kemajuan ilmu pengetahuan, kesusastraan, dan kesenian. Ketiga, pembajak tidak mengakui adanya jasa orang atau perusahaan/penerbit yang dengan penuh resiko menyediakan modal untuk menyiarkan, mencetak, dan memperbanyak karya cipta tersebut. lebih dari itu, perusahaan atau percetakan harus membayar berbagai pajak dan royalty pencipta. Sedangkan pembajak, selain melakukan pembajakan mereka juga tidak membayar pajak royalty dari bajakannya tersebut sehingga selain merugikan pencipta dan perusahaan, pembajak juga telah merugikan Negara.[35]
Abdul Bari Azed Direktur Jenderal HAKI Departermen Kehakiman dan HAM berpendapat bahwa dari aspek moral pembajakan terhadap hak cipta akan menghambat tumbuhnya kreativitas dalam berkarya karena keengganan para pencipta untuk bekerja menciptakan sebuah karya cipta baru.[36] Hal ini tentunya akan sangat merugikan bagi perkembangan dan kemajuan ilmu penegtahuan dan masyarakat secara umum.
Namun demikian, tidak semua pembajakan dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak cipta. Dalam UUHC pasa 14 dan 15 dijelaskan bahwa; Tidak termasuk sebagai pelanggaran hak cipta apa bila pengambilan atau perbanyakan sebuah ciptaan baik sebagian atau seluruhnya yang digunakan untuk; pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, pusat dokumentasi, dan lain sebagainnya yang bersifat non komersial. Namun demikian pengecualian ini tidak berlaku bagi program-program computer.[37]

C. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hak cipta termasuk harta yang bisa dimiliki secara sah, dan pemiliknya mempunyai hak penuh atas hartanya tersebut. Hal ini didasarkan pada; Pertama, hak cipta lahir dari hasil kerja keras yang dilakukan sang pencipta dalam mewujudkan ciptaannya. Kedua, cakupan harta dalam Islam tidak hanya terbatas pada yang berbentuk materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Hal ini tercermin dalam pendapat jumhur ulama yang mendefinisikan harta sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai. Dalam teori hak Islam, hak cipta termasuk salah satu bagian (macam) dari hak al-Maliyah (hak kekayaan).
Oleh karena merupakan harta yang dimiliki secara sah, maka hak cipta merupakan harta yang dilindungi syara’. Dengan demikian, segala sesuatu yang bersifat merugikan, mendlalimi pemilik hak cipta tersebut adalah dilarang. Pembajakan terhadap hak cipta dilarang karena; Pertama, pembajakan berarti mengambil hak milik orang lain dengan cara batil. Kedua, pembajakan terhadap hak cipta telah merugikan bukan hanya materil tetapi juga moril si pemilik hak cipta, dan Negara. Ketiga, pembajakan akan menghambat kemajuan peradaban manusia karena menghambat tumbuhnya kreativitas dalam berkarya menciptakan sebuah karya cipta baru. Namun demikian, tidak semua pembajakan terhadap hak cipta dianggap sebagai tindakan batil, karena dengan alasan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas pembajakan dibolehkan atau tidak dianggap sebagai tindak kejahatan.


Daftar Pustaka

Al-Qardlawi, Yusuf, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah. Didin Hafiduddin dkk, Jakrata: Rabbani Press, 2001.

ash-Shiddieqy, Tungku Muhammad Hasbi, Pengantar Fiqh Muamalam, Cet. 4. Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001.

Tidak ada komentar: