Jumat, 18 Juli 2008

BI AKAN PROYEKSIKAN AKAN ADA 10 BUS DI 2009

Ditulis oleh Republika
Friday, 11 January 2008
JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memproyeksikan akan terdapat 10 Bank Umum Syariah (BUS) pada 2009 mendatang. Hingga akhir tahun depan, otoritas moneter tersebut memproyeksi akan ada lima hingga enam BUS, dari tiga BUS yang ada saat ini.
Ketiga BUS tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Mega Syariah (BMS). ''Kita memproyeksi sebanyak 10 BUS pada tahun 2009. Sedangkan, hingga akhir 2008, kita harapkan sekitar lima hingga enam BUS,'' kata Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI, Ramzi A Zuhdi kepada Republika.
Menurut Ramzi, penambahan jumlah BUS terjadi melalui rencana akuisisi sejumlah bank konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS). Setelah mengakuisi sejumlah bank, mereka akan memisahkan UUS dan menggabungkan ke bank hasil akuisisi. Selanjutnya, bank tersebut akan dikonversi menjadi BUS.
Ramzi mengaku hingga kini memang belum ada bank konvensional yang mengajukan proposal pendirian BUS tersebut melalui akuisisi. Namun, terdapat sekitar tiga bank konvensional yang telah datang dan bertemu BI. ''Jadi, baru tiga bank konvensional yang datang dan bertemu secara informal dengan BI sepanjang kuartal terakhir 2007,'' katanya.
Menurut Ramzi, penambahan jumlah BUS tersebut akan berdampak positif dalam meningkatkan pangsa perbankan syariah. Meski demikian, ia mengaku belum dapat memperkirakan peningkatan pangsa perbankan syariah. ''Saya juga mengharapkan ini bisa mendorong pencapaian pangsa lima persen tahun depan,'' kata dia.
Menurut Direktur Utama Karim Business Consulting (KBC), Adiwarman Azwar Karim, proyeksi BI tersebut cukup realistis. Sebabnya, Indonesia memiliki potensi bisnis perbankan syariah cukup besar. ''Proyeksi BI itu cukup relistis,'' kata Adiwarman. Menurut dia, terdapat dua pola yang akan digunakan dalam mendirikan bank syariah oleh bank konvensional tahun depan. Pola pertama adalah bank konvensional yang telah memiliki UUS membeli bank beraset kecil.
Selanjutnya, bank kecil tersebut diakuisisi dan digabungkan dengan UUS. ''Kemudian, bank tersebut melakukan spin off dan mendirikan bank syariah,'' kata dia. Sedangkan pola kedua adalah bank konvensional yang belum memiliki UUS. Kemudian, bank tersebut membeli dan mengakuisisi bank kecil. Selanjutnya, bank tersebut dikonversi menjadi bank syariah.
Menurut Adiwarman, KBC sebetulnya memproyeksi tahun depan BUS tidak hanya akan berjumlah lima atau enam buah. Perusahaan konsultan bisnis syariah tersebut bahkan memprediksi BUS tahun depan akan berjumlah delapan buah. ''Ini berdasarkan informasi yang kami peroleh. Sekitar lima bBUs baru akan lahir tahun depan,'' kata dia.
Meski demikian, Adiwarman menyebutkan, tercapainya prediksi tersebut sangat bergantung pada sejumlah faktor. Salah satunya adalah perizinan. Bila sejumlah bank konvensional yang ingin mendirikan bank syariah dipermudah untuk mendapatkan izin, maka prediksi tersebut kemungkinan besar tercapai.
Sementara itu, Ramzi juga berharap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Syariah dapat terbit dalam waktu dekat. Sebabnya, instrumen tersebut cukup dibutuhkan oleh industri perbankan syariah dalam mendorong kinerja bisnis. ''Mudah-mudahan SBI Syariah dalam waktu dekat terbit sehingga bisa mendorong pertumbuhan aset perbankan syariah,'' katanya.
Selain itu, Ramzi juga berharap sukuk pemerintah segera terbut. Hal itu sehingga dapat menjadi salah satu instrumen investasi perbankan dan keuangan syariah. Untuk merealisasikannya, RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) perlu segera disahkan. Berdasarkan data publikasi BI, hingga Oktober lalu, aset perbankan syariah nasional tercatat sebesar Rp 33,016 triliun atau meningkat 31,77 persen dibandingkan periode serupa tahun lalu Rp 25,056 triliun.
Sedangkan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) per Oktober lalu tercatat sebesar Rp 25,473 triliun atau meningkat 35,09 persen dibandingkan periode serupa tahun lalu Rp 18,856 triliun. Sementara, penyaluran pembiayaan per Oktober lalu tercatat sebesar Rp 26,149 triliun atau meningkat 31,87 persen dibandingkan periode serupa tahun lalu Rp 20,088 triliun. aru

PERTUMBUHAN BANK SYARIAH LAMPAUI BANK KONVENSIONAL

Ditulis oleh Republika
Friday, 28 March 2008
Di berbagai negara, perbankan syariah terus lahir dan berkembang. Hal itu tidak saja terjadi di negara dengan penduduk mayoritas Muslim, tapi juga minoritas Muslim. Di antaranya seperti Inggris, AS, Rusia, Swiss, Thailand, dan Afrika Selatan. Salah satu pemicu tumbuhnya industri perbankan syariah di sejumlah negara tersebut dipicu oleh keyakinan bahwa sistem perbankan syariah lebih adil bagi masyarakat. Hal tersebut mendorong pesatnya perkembangan bisnis perbankan syariah global.
Terlebih, overlikuiditas dana investasi Timur Tengah akibat lonjakan harga minyak dunia semakin mendorong pesatnya perkembangaan perbankan syariah. Berdasarkan penelitian The Asian Banker, pertumbuhan kinerja bisnis 100 bank syariah terbesar dunia dalam beberapa tahun terakhir telah melampaui pertumbuhan kinerja serupa industri perbankan konvensional.
Ke-100 bank syariah terbesar dunia tersebut tercatat memiliki tingkat pertumbuhan bisnis rata-rata tahunan sebesar 26,7 persen dengan nilai aset hampir mencapai 350 miliar dolar AS. Sedangkan, tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan perbankan konvensional hanya berada pada kisaran 19,3 persen. Tingkat pertumbuhan ke-100 bank syariah terbesar dunia tersebut bahkan melampaui estimasi sejumlah analis perbankan.
Mereka mengestimasikan bank syariah global hanya tumbuh rata-rata 15 hingga 20 persen per tahun. ''Kami melihat adanya peningkatan jumlah dan ukuran bank-bank syariah di dunia dan mereka juga tumbuh popukler di negara non Muslim,'' kata Manajer Penelitian Asian Banker, Benny Zhang Wei sebagaimana dilansir situs berita www.zawya.com, Selasa, (25/3).
Mengacu pada hasil penelitian, Zhang Wei menyatakan pertumbuhan bisnis ke-100 bank syariah terbesar dunia tersebut akan terus berjalan dalam jangka panjang. Hal itu terutama didorong terus meningkatnya overlikuiditas di Timur Tengah akibat lonjakan harga minyak dan gas. ''Saya tidak melihat adanya pelambatan pertumbuhan dalam jangka panjang,'' ujarnya.
Kepala Divisi Perbankan Syariah Bank Mashreq (Badr Al Islami), Taha El Tayeb mengaku, cukup terkejut dengan hasil penelitian Asian Banker tersebut. Hal itu karena awalnya ia hanya menduga pertumbuhan rata-rata perbankan syariah tahunan hanya sekitar 20 persen. ''Namun, saya meyakini tingginya rata-rata pertumbuhan ini terjadi karena pertumbuhan bisnis perbankan syariah jangka pendek juga berjalan cukup baik. Perkembangan bisnis perbankan syariah akan semakin cerah,'' ucapnya.
Zhang Wei bahkan menyebutkan, potensi industri perbankan syariah mengalahkan perbankan konvensional cukup besar dan tidak dapat dianggap remeh. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi perbankan konvensional karena hingga kini bank syariah terus tumbuh pesat melalui merger dan akuisisi.
Makin diterima Pesatnya perbankan syariah tak lepas dari pengaruh semakin diterimanya sistem perbankan non bunga tersebut di berbagai negara berpenduduk minoritas Muslim. Di AS dan Inggris, terdapat European Islamic Investment Bank (EIIB) Inggris dan University Bank Islamic Corp. (UBIC) AS.
EIIB merupakan BUS investasi dan tercatat menempati urutan ke-99 dari 500 lembaga keuangan syariah top dunia berdasarkan majalah The Banker November tahun lalu. Saat itu, bank ini memiliki aset sekitar 463,82 juta dolar AS.
Sedangkan, UBIC merupakan BUS komersial dan menempati urutan ke-186 dengan aset 20,05 juta dolar AS. Kedua negara berpopulasi mayoritas pemeluk Kristen. Selain itu, di Thailand, terdapat Islamic Bank of Thailand (IBT) yang bergerak pada bisnis komersial. Bank ini menempati urutan 125 dengan aset mencapai 243,41 juta dolar AS. Thailand merupakan negara Asia Tenggara dengan penduduk mayoritas pemeluk Buddha.

SAATNYA PROMOSIKAN KEUNGGULAN BANK SYARIAH

Ditulis oleh Republika
Friday, 25 April 2008
JAKARTA – Perbankan syariah perlu menerapkan strategi komunikasi yang lebih menonjolkan keunggulan produk dan layanan. Jika selama ini bank syariah lebih mempromosikan soal halal haramnya poduk, kini yang patut dilakukan adalah lebih menonjolkan keunggulan produk dan layanan untuk menjaring nasabah.
Dari hasil pengkajian Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan, yang dilakukan Bank Indonesia (BI), terdapat tiga macam nasabah perbankan di Indonesia. Ketiganya adalah nasabah nasabah loyalis konvensional, loyalis syariah, dan menggambang. Dari ketiga macam nasabah tersebut, nasabah mengambang memiliki jumlah terbesar sekitar 80 persen.Peneliti Senior BI, Ascarya mengatakan, dari hasil pengkajian itu, nasabah loyalis konvensional dan syariah hanya mengkomposisi sekitar 20 persen. Karena itu, Ascarya mengatakan, jika ingin membesarkan market share bank syariah, sasarannya adalah nasabah yang mengambang. ''Untuk membidik yang mengambang itu, perlu mempromosikan keunggulan produk dan layanan bank syariah,'' ujarnya kepada Republika, Rabu, (23/4).Menurutnya, keunggulan bank syariah yang perlu dipromosikan diantaranya, keadilan dan transparansi transaksi perbankan syariah serta bagi hasil perbankan syariah yang cukup kompetitif. Hal tersebut menurutnya, bisa menjadi senjata ampuh dalam meyakinkan nasabah mengambang.Saat ini, menurut Ascarya, strategi komunikasi yang diterapkan sebagian besar bank syariah di Indonesia masih membidk nasabah loyalis syariah. Karena itu, sebagian besar strategi komunikasi yang dijalankan masih seputar halal-haram produk dan layanan yang diberikan. ‘’Kalau berjalan seperti ini, perkembangan perbankan syariah akan cenderung berjalan lambat dan kontra produktif,’’ katanya.Namun Ascarya tidak mempersoalkan penerapan strategi halal-haram yang diterapkan salah satu bank umum syariah (BUS). Menurutnya, BUS tersebut memang membidik segmentasi itu. Ascarya tetap mendukung strategi tersebut agar nasabah yang loyalis syariah juga makin banyak. ''Tapi, kalau bisa jangan semuanya,’’ ujarnya.Pemimpin Divisi Syariah Bank Jabar, Rukmana, mengakui pentingnya penerapan strategi komunikasi perbankan syariah yang menonjolkan keunggulan produk dan layanan. Menurutnya, untuk dapat bersaing dengan perbankan konvensional, perbankan syariah harus mampu memberikan kualitas produk dan layanan setara, bahkan lebih baik dari bank konvensional.Rukmana menyebutkan, saat ini, margin bagi hasil deposito perbankan syariah tak kalah kompetitif dibandingkan bunga deposito perbankan konvensional. Sebagai contoh, realisasi margin bagi hasil deposito Bank Jabar Syariah per Maret lalu tercatat sekitar tujuh persen. ‘’Jadi, saya kira bank syariah tak kalah kompetifi dibandingkan bank konvensional. Bahkan, saya kira bank syariah harus lebih baik,’’ ujarnya.Hingga 23 Maret 2008, menurut Rukmana, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) Bank Jabar Syariah tercatat sebesar Rp 161 miliar. Sedangkan, penyaluran pembiayaan dan aset divisi syariah Bank Jabar masing-masing tercatat sebesar Rp 342 miliar dan Rp 540 miliar.Berdasarkan data publikasi Bank Indonesia (BI), hingga Februari lalu, aset perbankan syariah tercatat meningkat 33 persen menjadi Rp 36,846 triliun dari posisi sama tahun lalu Rp 27,69 triliun. Sedangkan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) per Februari lalu tercatat naik 36 persen menjadi Rp 28,731 triliun dibandingkan periode serupa tahun lalu Rp 21,054 triliun. Sementara, penyaluran pembiayaan per Februari lalu juga tercatat meningkat 36 persen menjadi Rp 27,878 triliun dari periode serupa tahun lalu Rp 20,463 triliun. Meski demikian, pangsa perbankan syariah masih berada di bawah dua persen.Data publikasi BI menyebutkan, hingga Januari, aset perbankan tercatat sebesar Rp 35,836 triliun atau mengkomposisi 1,85 persen dari total industri perbankan nasional. Industri hingga Januari lalu memiliki aset total senilai Rp 1.940,843 triliun. (aru)
Republika, 24/4/2008

Sabtu, 12 Juli 2008

Target Akselerasi Perbankan syariah tercapai di Thm 2008

JAKARTA - Pengamat perbankan optimistis target akselerasi aset perbankan syariah pada tahun 2008 sebesar 5% dapat tercapai. Per Juni, aset diprediksi sudah mencapai 2,5%, namun ada beberapa syarat lain untuk memenuhi target tersebut.

Pengamat perbankan syariah Adiwarman Azwar Karim memprediksi aset maupun market share syariah per Juni bisa mencapai 2,5% dan sisa waktu enam bulan pada tahun ini bisa memenuhi target akselerasi perbankan syariah nasional.

Selain itu, pertumbuhan anorganik bank syariah mampu mempercepat target akselerasi dan perbankan harus mencari bisnis model sehingga mampu mengumpulkan dana masyarakat dan digunakan sebagai pembiayaan.

"Bank syariah masih bisa memberi pembiayaan lebih besar dan pertumbuhan anorganik juga mendukung target akselerasi," jelasnya di Jakarta, Minggu (15/6/2008).

Adiwarman memprediksi sedikitnya ada beberapa investor baru yang masuk dan meramaikan industri syariah nasional. Umumnya, investor baru tersebut akan mengkonversi bank yang diakuisisi menjadi bank syariah. (Tomi Sujatmiko/Sindo/jri)

Multi Level Marketing Dalam Persfektif Fiqih Islam

Belakangan ini semakin banyak muncul perusahaan-perusahaan yang menjual produknya melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah Islam. Perlu dicatat, bahwa perusahaan money game yang berkedok MLM bukanlah termasuk MLM., seperti BMA dan sejenisnya. Perusahaan BMA adalah bisnis paling zalim dan jelas-jelas menipu orang. Bisnis haram yang menggunaan sistem piramida itu pasti merugikan sebagian besar masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir orang yang lebih dahulu masuk. Tulisan ini tidak membahas money game/penggandaan uang tersebut, karena ia tidak termasuk kepada MLM, dan hukumnya telah jelas haram. Tulisan empat serangkai, Prof. Bahauddin Darus,Drs.Agustianto,MAg, Dr. Ramli Abdul Wahab dan Miftahuddin, SE,MBA, telah mengemukakan dua belas dalil dan alasan keharaman bisnis BMA dan sejenisnya tersebut.
Sistem Pemasaran MLM
Pakar marketing ternama Don Failla, membagi marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga multi level marketing (pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran).
Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM).Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.(Ahmad Basyuni Lubis, Al-Iqtishad, November 2000)
.
Perspektif Islam
Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya)
Islam memahami bahwa perkembangan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm ( merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur. 1, Maysir (judi), 2, Aniaya (zhulm), 3. Gharar (penipuan), 4 Haram,5, Riba (bunga), 6. Iktinaz atau Ihtikar dan 7. Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak haram dan tidak syubhat serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.di atas..
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. Menurut Muhammad Hidayat, Dewan Syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.(Lihat, Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
1. /falah.
Insentif dan penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan:” Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun”(hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja. ‎
Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Up line ) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (down line), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan, sebagaimana yang terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional. Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah, (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang juga telah membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan. MLM yang Islami senantiasa berpedoman pada akhlak Islam..
Sebagaimana disebut di atas bahwa penghargaan yang diberikan kepada anggota yang sukses mengembangkan jaringan, dan secara sungguh-sunguh memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah), harus selaras dengan ajaran agama Islam. Karena itu, applause ataupun gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang, haruslah sesuai dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak. Ekspressi penghargaan atas kesuksesan anggota MLM, tidak boleh melampaui batas (bertantangan dengan ajaran Islam). Applause yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus individu, mendewakan seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya menjai takabbur, dan ‘ujub. Perayaan kesuksesan seharusnya dilakukan dalam bingkai tasyakkur. (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis Normatif MLM dalam Perspektif Muamalah, 2002)
Karena itu pula, Islam sangat mengecam seseorang yang dalam menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangannya semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Firman Allah, “ Mereka tidak lalai dari mengingat Allah dalam melakukan bisnis dan jual beli. Mereka mendirikan shalat dan membayar zakat”… (QS.24:37)
Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa seluruh aktivitas bisnis tidak boleh melupakan Tuhan dan jauh dari nilai-nilai keilahian, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, strategi pemasaran, maupun pada saat menikmati kesuksesan (menerima penghargaan dan applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis MLM perlu diwaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul, sehingga membahayakan kepribadian, seperti yang dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan, yaitu adanya eksploitasi obsesi yang berlebihan untuk mencapai terget jaringan dan penjualan. Karena terpacu oleh sistem ini, suasana yang tak kondusif kadang mengarah pada pola hidup hura-hura ala jahiliyah, seperti ketika mengadakan acara pertemuan para members .
Kewajaran harga produk
Setiap perdagangan pasti berorientasi pada keuntungan. Namun Islam sangat menekankan kewajaran dalam memperoleh keuntungan tersebut. Artinya, harga produk harus wajar dan tidak dimark up sedemikian rupa dalam jumlah yang amat mahal, sebagaimana yang banyak terjadi di perusahaan bisnis MLM saat ini. Sekalipun Al-quran tidak menentukan secara fixed besaran nominal keuntungan yang wajar dalam perdagangan, namun dengan tegas Al-quran berpesan, agar pengambilan keuntungan dilakukan secara fair, saling ridha dan menguntungkan. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu. )QS.4:29).

Dalam konteks ini, tidak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa produk yang ditawarkan perusahaan MLM sangat mahal dan terlalu eksklusif, sehingga kerap kali memberatkan anggota yang berada di level bawah (down line) serta masyarakat pemakai dan sangat menguntungkan level di atasnya (up line). Seringkali harga produk dimark up sampai dua bahkan tiga kali lipat dari harga yang sepatutnya. Hal ini seharusnya dihindari, karena cara ini adalah mengambil keuntungan dengan cara yang bathil, karena mengandung unsur kezaliman, yakni memberatkan masyarakat konsumen.
Penetapan harga yang terlalu tinggi dari harga normal, sehingga memberatkan konsumen, dapat dianalogikan dengan ghabn, yaitu menjual satu barang dengan harga tinggi dari harga pasar.

12 syarat agar MLM menjadi syari’ah

1. Produk yang dipasarkan harus halal, thayyib (berkualitas) dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
2. Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
3. Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah.
4. Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga anggota terzalimi dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
5. Struktur manajemennya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama yang memahami masalah ekonomi.
6. Formula intensif harus adil, tidak menzalimi down line dan tidak menempatkan up line hanya menerima pasif income tanpa bekerja, up line tidak boleh menerima income dari hasil jerih payah down linenya.
7. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
8. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir
9. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
10. Tidak menitik beratkan barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
11. Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan sikap hura-hura dan pesta pora, karena sikap itu tidak syari’ah. Praktik ini banyak terjadi pada sejumlah perusahaan MLM.
12. Perusahaan MLM harus berorientasi pada kemaslahatan ekonomi ummat.

Missi Syari’ah
Usaha bisnis MLM, (khususnya yang dikelola oleh kaum muslimin), seharusnya memiliki misi mulia dibalik kegiatan bisnisnya. Di antara misi mulia itu adalah :

1. Mengangkat derjat ekonomi ummat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
2. Meningkatkan jalinan ukhuwah ummat Islam di seluruh dunia
3. Membentuk jaringan ekonomi ummat yang berskala internasional, baik jaringan produksi, distribusi maupun konsumennya sehingga dapat mendorong kemandirian dan kejayaan ekonomi ummat.
4. Memperkokoh ketahanan akidah dari serbuan idiologi, budaya dan produk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami.
5. Mengantisipasi dan mempersiapkan strategi dan daya saing menghadapi era globalisasi dan teknologi informasi.
6. Meningkatkan ketenangan konsumen dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.

PROSPEK DAN TANGTANGAN BANK SYARI'AH 2008

Sejak tahun 2001 sampai 2007, perbankan syariah di Indonesia mengalami hiqh growth yang menggembirakan. Di tahun 2008 pertumbuhan perbankan syariah diperkirakan akan masih menikmati pertumbuhan tinggi tersebut, apalagi iklim kondusif berupa kondisi makroekonomi Indonesia cukup baik. Hal itu dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di tahun depan tidak bisa dilepaskan dari kondisi makroekonomi Indonesia. Kondisi makroekonomi Indonesia tersebut tentu berdampak kepada industri perbankan syariah. Karena itu, di awal tulisan ini perlu dipaparkan prospek kondisi makroekonomi Indonesioa pada 2008.
Prospek makroekonomi Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,5 % sejalan dengan membaiknya investasi swasta, pulihnya daya beli masyarakat seiring dengan menurunnya tingkat suku bunga di semester kedua tahun 2007 dan tetap terjaganya inflasi pada kisaran 6 – 7 %. Sedangkan prospek pencapaian inflasi untuk tahun 2008 diperkirakan lebih rendah dari tahun 2007, yaitu berada di kisaran 5,1 % yang didukung oleh tetap terkendalinya permintaan dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah.
Pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sector riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat dalam bentuk tabungan tadi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi nasional memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan perbankan syariah.
Menurunnya tekanan inflasi dan menguatnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2007, memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk secara gradual menurunkan BI rate dalam rangka mendorong aktivitas sector riil. Bagi sector perbankan, hal itu mengisyaratkan prospek yang positif untuk menggairahkan sector riil. Kondisi ini merupakan peluang untuk mendorong ekspansi pembiayaan ke sector riil dan meningkatklan FDR lembaga perbankan.

Prospek Perbankan Syariah 2008
Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tahun 2008, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional.
Industri perbankan syariah Indonesia sebagai bagian dari system perbankan nasional, diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif masyarakat. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga), jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah, serta jumlah sector perekonomian yang dibiayai.
Selain dukungan kondisif makro ekonomi yang masih kondusif, faktor mikro dalam industri perbankan dan keuangan syariah juga akan mempengaruhi percepatan perkembangan industri perbankan syariah meliputi ; pertama, rencana pembukaan bank-bank syariah baru, kedua, optimalisasi kapasitas usaha dari bank syariah; dan ketiga, dukungan lingkungan keuangan syariah nasional.
Pada tahun 2008 nanti beberapa rencana pembukaan bank syariah baru berupa BUS (Bank Umum Syariah) atau UUS (Unit Usaha Syariah) akan segera terealisasi, baik melalui proses spin-off maupun proses akuisisi. Selain itu, diharapkan UUS yang ada mampu memaksimalkan ekspansi/peningkatan kapasitas funding (pendanaan) dan financing (pembiayaan) mereka. Banyak UUS yang memasang target pembiyaan sampai 100 %, misalnya Bank BNI Syariah, demikian pula Bank Umum Syariah Bank Muamalat Indonesia, juga memasang target yang sama.
Diperkirakan juga pada tahun depan, instrumen keuangan syariah berupa sukuk atau obligasi syariah (Sertifikat Berharga Syariah Negara-SBSN) sudah tersedia pada awal tahun 2008 untuk dijadikan alternatif bagi pemanfaatan dana bank-bank syariah.
Di samping itu, penyelesaian penyempurnaan UU Pajak (PPN) di awal tahun 2008 akan menjadi pintu gerbang bagi masuknya investor baru ke dalam sektor industri perbankan syariah nasional, sehingga memperbesar kapasitas industri. Menko perekonomian sudah berjanji akan menghapuskan pajak ganda murabahah.
Respon konstruktif Pemerintah terhadap ketentuan single Present Policy, misalnya dengan melakukan konversi salah satu bank BUMN dan swasta besar menjadi bank syariah, akan dengan cepat membantu meningkatkan volume industri perbankan syariah. Kepercayaan Pemerintah kepada perbankan syariah kepada perbankan syariah untuk mengelola dana-dana milik Pemerintah (pusat maupun daerah) serta dana haji, juga akan sangat mendukung peningkatan kapasitas perbankan syariah secara nyata.
Dengan berbagai asumsi dan upaya yang sungguh-sungguh untuk merealisasikannya dalam semangat program akselerasi, maka pertumbuhan Aset, DPK dan Pembiayaan industri perbankan syariah tahun 2008 menurut proyeksi Bank Indonesia akan mencapai volume asset, DPK dan pembiayaan sesuai program akselerasi yaitu masing-masing sebesar Rp. 91,6 triliun, Rp.73,3 triliun dan Rp.68,9 triliun.

Tantangan
Meskipun perbankan syariah mengalami high growth, namun industri perbankan syariah masih harus mengatasi beberapa tantangan, agar dapat mempertahankan pertumbuhan yang tinggi tersebut secara lebih berkesinambnbungan. Setidaknya ada lima tantngan utama perbankan syariah selain tantangan-tantangan lainnya yang juga perlu dihadapi secara arif.
Pertama, sumber daya manusia (SDM). Dengan semakin meningkatnya kapasitas ekspansi BUS dan UUS di masa depan, maka semakin menuntut penambahan SDM berkualitas dalam jumlah yang memadai. Selanjutnya, kegiatan operasional perbankan syariah yang dekat kepada sector riil memberikan konsekuensi kebutuhan bank syariah untuk lebih memiliki sumber daya yang kuat dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan sector riil seperti kemampuan penilaian proyek dari berbagai aspek, misalnya industri manufaktur, perdagangan, agribisnis dan sebagainya. Hal ini sangat penting agar resiko kredit dapat diminimalisir sekecil mungkin, sehingga dapat mengecilkan tingkat NPF (Non Performing Financing) perbankan syariah.
Selain itu juga, harus tetap diperhatikan keahlian perbankan syariah yang profesional seperti keahlian legal aspect, risk management dan service exellence Skills ini menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi praktisi perbankan syariah tanpa mengesampingkan nilai-nilai moral yang cukup kental dalam bisnis syariah.
Kedua, masalah permodalan. Dengan kecenderungan semakin bertumbuhnya DPK hingga saat ini, perbankan syari’ah dituntut untuk menambah permodalannya di masa depan. Artinya perbankan syariah akan membutuhkan suntikan modal yang cukup besar agar tetap dapat beroperasi sesuai dengan koridor kehati-hatian dalam aspek permodalan. Pada saat ini tingkat rata-rata CAR (Capital Adequacy Ratio), bank syariah cenderung menurun sejalan dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) Hal tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan syariah berada hampir pada kapasitas maximum ekspansinya. Dengan demikian, jika tidak dilakukan tindakan penguatan modal, pada gilirannya nanti permasalahan permodalan ini akan menghambat laju pertumbuhan perbankan syari’ah.
Ketiga, aspek regulasi. Pengembangan perbankan syariah tidak terlepas dari aspek regulasi. Jika ketentuan perundang-undangan tidak kondusif bisa menghambat pertumbuhan perbankan syariah, karena itu dukungan dari aspek hukum saat ini sangat mendesak untuk dipenuhi, seperti amandemen UU Perpajakan, UU Perbankan Syariah, dan UU SBSN (sukuk). Untuk itu Masyarakat Ekonomi Syariah dan Ikatan Ahli Ekonomi islam Indonesia (IAEI) serta MUI harus mengawal dan mendesak terus janji pemerintah untuk segera mengelaurkan beberapa UU yang terkait.
Keempat optimalisasi jaringan pelayanan. Kebijakan pembukaan office channeling bank syariah yang dimulai bulan maret 2006, sepanjang tahun 2007 ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bank BNI syari’ah telah membuka 600-an kantor pelayanan office channeling tersebut, luar biasa. Hal yang sama juga dilakukan oleh bank UUS lainnya, seperti Bank Permata Syariah dan sejumlah Bank Pembangunan Daerah (PT.Bank Sumut, Bank DKI, Bank Sumsel, dll). Kebijakan office channeling pada dasarnya terfokus untuk menjawab masalah cakupan pelayanan perbankan syariah yang terbatas. Namun sangat di sayangkan pembukaan office channeling tersebut tidak diimbangi dengan program edukasi dan sosialisasi, sehingga terjadi kesenjangan hebat antara supply bank syariah dan demand dari sisi masyarakat. Artinya, masyarakat dibiarkan kurang faham tentang perbankan syariah. Padahal jika bank-bank syariah melakukan edukasi secara intensif, niscaya terjadi ledakan hebat dalam pertumbuhan asset perbankan syariah. Kebijakan office channeling juga harus sejalan dengan peningkatan kualitas SDM. Jangan sampai peluasan cakupan pelayanan perbankan syariah melalui office channeling harus mengorbankan aspek kualitas pelayanan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi reputasi industri perbankan syariah secara umum.
Kelima, Inovasi produk, keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, karena itu perbankan syariah harus lebih kreatif dan inovatif dalam mendesig produk-produknya. Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang harus dikembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah. Untuk mengembangkan produk-produk yang bervariasi dan menarik, bank syari’ah di Indonesia dapat membangun hubungan kerjasama atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kerjasama itu akan bermanfaat dalam mengembangkan produk-produk bank syari’ah Iklim persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan sumber pendanaan dari masyarakat di tengah kondisi penurunan suku bunga, menuntut penyesuaian strategis penetrasi bank-bank syariah yang out of the box, keluar dari zona kenyamanannya saat ini.
Selain lima tantangan tersebut, sesungguhnya masih banyakmtantantagn lainnya, seperti tingkat pemahaman msyarakat yang masih rendah tentang perbankan syariah, dan metode pamasaran perbankan syariah yang kurang tepat
Penutup
Pertumbuhan perbankan syariah pada tahun 2008 diperkirakan masih menikmati high growth, namun demikian, bank-bank syariah harus secara cerdas dan kreatif mengatasi tantangan-tantangan dan kendala yang ada agar target-target bisa dicapai. Upaya mencapai target market share 5 % harus dilakukan secara serentak oleh segenap komponen umat, khususnya Majlis Ulama Indoensia (MUI), akademi dan Perguruan Tinggi (Ikatan ahli Ekonomi Islam/IAEI), Masyatakat Ekonomi Syariah (MES), Bank Indonesia dan tentunya dari praktisi perbankan syariah sendiri. (Penulis adalah Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana UI dan Islamic Economics anf Finance Trisakti)