Senin, 09 Juni 2008

PRAKTEK PEMBIAYAAN BANK SYARI'AH DAN PROBLEMATIKANYA

Pendahuluan
Gus Dur, dalam wawancaranya dengan salah satu TV mengenai Fatwa MUI tentang Pengharaman Bunga Bank mengatakan bahwa bunga bank tidak haram, karena bunga bank tidak identik dengan riba. Komentar Gus Dur tersebut bersambut gayung dengan komentar yang lain, salah satunya dikemukakan oleh Syafi’i Maarif yang mengatakan bahwa fatwa MUI tersebut terlalu terburu-buru. Berbagai komentar ini ditanggapi kembali oleh MUI yang menjelaskan bahwa MUI belum mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank haram, pengharaman bunga bank baru sebatas usulan komisi fatwa MUI.
Pro-kontra antara haram-makruh-mubah-halal adalah perdebatan yang sudah lama menjadi wacana masyarakat luas, tidak hanya kalangan elit agama. Penulis berpendapat bahwa pro-kontra pengharaman bunga bank tidak seharusnya menjadikan akademisi dan praktisi lembaga keuangan syariah, termasuk perbankan syariah surut melangkah dalam memajukan lembaga keuangan syariah. Sebagaimana teori-teori dan praktek yang lain, teori dan praktek perbankan syariah akan eksis dan menjadi model saat ia mampu menyelesaikan problem-problem yang terjadi di masyarakat, dan ditinggalkan apabila dipandang tidak mampu menyelesaikan problem-problem yang terjadi di mayarakat, terutama problem kemiskinan dan pengangguran yang terjadi karena ketidakadilan. Bertolak dari pendapat ini, akademisi dan praktisi perbankan syariah harus selalu mengevaluasi dan memperbaiki konsep dan praktek-praktek yang tidak mampu menyelesaikan problem-problem di masyarakat.
Tulisan berikut akan membahas konsep-konsep pembiayaan dan aplikasinya serta beberapa problem yang perlu dievaluasi dan kemudian dikembangkan dalam kerangka mengembangkan peran dalam menyelesaikan problem-problem ekonomi umat. Fokus pembiayaan merupakan konsep dan praktek penting dalam perbankan syariah mengingat dari produk pembiayaan inilah yang berhubungan langsung dengan masalah pendanaan ke nasabah, yang harapannya pada gilirannya nanti akan mampu mengurangi kemiskinan dan memberi peluang kepada terbukanya lahan-lahan baru lapangan pekerjaan. Produk pembiayaan inilah yang mempunyai peluang untuk memajukan sektor riil.
Secara sistematis tulisan ini diawali dengan mendeskripsikan konsep dan praktek pembiayaan bank syariah; kemudian dilanjutkan dengan problem-problem yang muncul dalam konsep dan praktek pembiayaan; alternatif pengembangan pembiayaan bank syariah; dan terakhir kesimpulan sebagai rangkuman dan rekomendasi dari pembahasan tulisan ini.

Konsep-Konsep Pembiayaan Bank Syariah
Produk bank syariah yang berkaitan dengan penyaluran dana, dalam istilah bank syariah dikenal dengan pembiayaan (sama dengan kredit dalam istilah bank konvensional) menerapkan beberapa sistem. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 Bab VI Pasal 28 tentang Kegiatan Usaha[1] disebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya yang meliputi:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi
giro berdasarkan prinsip wadiah,
tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah,
deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau
bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah.
2. Melakukan penyaluran dana melalui:
murabahah,
istisna
ijarah
salam
jual-beli lainnya
3. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip
mudharabah
musyarakah
bagi hasil lainnya
4. Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip
hiwalah
rahn
qard.
Pada prakteknya, seperti Bank BNI Syariah produk pembiayaan yang diaplikasikan adalah Jual-Beli (murâbahah), Bagi-Hasil (Mudhârabah), Sewa-Beli (Ijârah bai’ at Ta’jiri), dan kongsi (musyârakah).[2] Ulasan produk-produk pembiayaan tersebut sebagai berikut:
1. Murabahah
Murabahah adalah pembiayaan di mana pihak bank syariah menyediakan dana untuk membeli barang yang dibutuhkan nasabah/umat. Secara operasional, praktek murabahah ini adalah jual-beli barang sebesar harga perolehan atau harga jual (harga beli ditambah biaya transportasi, PPN dan sebagainya) ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati di mana penjual harus memberitahukan kepada pembeli mengenai harga beli produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada harga perolehan tersebut. Keuntungan Bank Syari’ah berdasarkan prinsip kepatutan. Pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara tangguh dan menurut batas waktu yang ditentukan bersama.
2. Mudharabah
Mudharabah adalah pembiayaan untuk masyarakat yang memiliki keahlian tetapi tidak punya modal, Bank Syariah bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek usaha. Bank Syari’ah sebagai shohibul mal (pemilik modal) memberikan pinjaman modal usaha pada masyarakat (mudhorib) untuk dikelola secara baik. Rasio keuntungan misqalnya 30%:70%, 35%:65% atau 40%:60% sesuai kesepakatan yang dibuat antara Bank Syari’ah dengan nasabah. Apabila terjadi kerugian dari proyek yang dijalankan nasabah masing-masing pihak secara berimbang menanggung kerugian tersebut.
3. Bai’ al Istisna
Bai’ al Istisna yaitu kontrak order yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu.
4. Ijarah
Ijarah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang memperbolehkan penyewa untuk memanfaatkan barang dengan membayar sewa sesui dengan perjanjian kedua pihak.
5. Musyarokah
Musyarokah yaitu pembiayaan modal kerja atau investasi di mana Bank Syari’ah menyediakan sebagian modal usaha keseluruhan, dan dalam proses manajemen pihak Bank Syari’ah dapat dilibatkan secara langsung sehingga keduanya berserikat dalam usaha. Pembiayaan musyarokah ini berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan proporsi penyertaan. Rasio keuntungan misalnya 50%:50 %, atau sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
6. Bai’ Bitsaman Ajil
Bai’ Bitsaman Ajil yaitu jual beli dengan suatu akad sebagaimana terjadi dalam prinsip murobahah tetapi pembayaran sejumlah harga beli oleh nasabah dilakukan secara berangsur.
7. Bai’ As-Salam
Bai’ As-Salam yaitu pembiayaan di mana nasabah memesan barang lewat Bank Syari’ah. Jenis barang dan harganya telah ditentukan dan nasabah melunasi harga barang tersebut pada saat akad (nasabah telah menitipkan uang tunai pada Bank Syari’ah), kemudian pihak Bank Syari’ah menyediakan barang yang dipesan pada waktu jatuh tempo, sedang keuntungan bank hanya berupa jasa dari nasabah
8. Hiwalah
Hiwalah pembiayaan ini terjadi apabila seseorang memiliki utang kepada orang lain kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Bank Syari’ah untuk membayar hutangnya setelah Bank Syari’ah melunasi hutang orang yang bersangkutan maka status hutangnya berdasarkan akad perjanjian yang dibuat beralih kepada Bank Syari’ah.
9. Rahn
Rahn adalah gadai yang dilakukan secara suka-rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan. Rahn berlaku untuk semua harta, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
10. Qordul Hasan
Qordul Hasan yaitu Pembiayaan kebijakan yang diberikan Bank Syari’ah kepada nasabah tanpa pengutan bagi hasil. Dalam hal ini nasabah hanya dibebani tanggung jawab mengembalikan pembiayaan sejumlah yang diterimanya dari Bank Syari’ah tanpa tambahan apapun, dan membayar biaya administrasi. Apabila peminjam tidak mampu mengembalikan dalam jumlah yang sama dan pada waktu yang telah ditentukan, maka peminjam tidak boleh dikenai sanksi. Atas kerelaannya peminjam dibolehkan memberikan imbalan kepada pemilik barang/uang.

Operasional Bank Syari’ah dalam Pembiayaan
Dalam pembiayaan atau penyaluran dana Bank Syari’ah menggunakan sistem bagi hasil dan pengambilan keuntungan berdasarkan syari’at Islam. Adapun mekanismenya adalah:
1. Permohonan pembiayaan oleh nasabah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Memberikan kejelasan tentang platform pembiayaan yang dimohon
b. Memberikan kejelasan tentang rencana penggunaan dana
c. Memberikan kejelasan tentang rencana jangka waktu pelunasan pembiayaan..
d. Memberikan kejelasan tentang rencana jaminan atas pembiayaan yang dimohon
e. Memberikan laporan keuangan perusahaan minimal 2 tahun terakhir
f. Memenuhi ketentuan umum administrasi.
Penerimaan berkas permohonan oleh petugas Bank Syari’ah
Pada prinsipnya permohonan pembiyaan diajukan secara tertulis namun dalam keadaan di mana cara ini sulit atau tidak mungkin dilakukan permohonan dapat diajukan secara lesan langsung antara nasabah dengan petugas.
Mempelajari berkas permohonan
Berkas permohonan yang diterima kemudian dipelajari sampai didapatkan suatu kesimpulan bahwa permohonan tersebut layak untuk ditindak lanjuti.
Survey Lapangan
survey lapangan dilakukan setelah didapatkan suatu kesimpulan yang jelas bahwa suatu permohonan pembiayaan yang diajukan pemohon dipandang layak untuk ditindak lanjuti.
Melakukan analisa pembiayaan
Analisa pembiayaan adalah serangkain kegiatan dalam rangka menilai informasi, data-data serta fakta di lapangan sehubungan diajukannya permohonan pembiayaan oleh seseorang.
2. Contoh Perhitungan Praktis Pembiayaan
Dari beberapa konsep-konsep pembiayaan-pembiayaan di atas, secara riil dapat dicontohkan, antara laian, sebagai berikut:
a. Al-Murabahah misalkan seseorang nasabah ingin memiliki sepeda motor. Ia dapat mengajukan permohonan agar Bank Syari’ah membelikannya. Melalui prosedur yang teliti kemudian dinyatakan Bank Syari’ah setuju, maka bank syariah membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah, jika harga motor tersebut Rp 4.000.000,- dan Bank Syari’ah ingin mendapatkan keuntungan Rp 800.000,- selama dua tahun. Harga yang ditetapkan kepada nasabah seharga Rp 4.800.000,- nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp 200.000,- per bulan.
b. Al-Mudharabah misalkan seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiyaan bagi hasil seperti mudharabah di mana Bank Syari’ah bertindak selaku shohibul mal dan nasabah selaku mudhorib. Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya dari modal Rp 30.000.000,- diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,- per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp 2.000.000,- selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.
c. Musyarokah misalnya Pak Usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek usaha tersebut membutuhkan modal sejumlah Rp 100.000.000,- ternyata setelah dihitung, Pak Usman hanya memiliki Rp 50.000.000,- dari modal yang diperlukan. Pak Usman kemudian datang ke Bank Syari’ah untuk mengajukan pembiayaan dengan model musyarokah. Dalam hal ini kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp. 100.000.000,- dipenuhi 50% dari nasabah dan 50% dari Bank Syari’ah . Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk Bank Syari’ah. Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp 20.000.000,- dan nisabah atau porsi yang disepakati 50:50%, pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp 50.000.000,- ditambah Rp 10.000.000,- (50% dari keuntungan untuk bank).
Prakteknya secara umum, misalnya pada pembiayaan murabahah, bank syariah bukan murni sebagai penjual barang seperti pada industri perdagangan yang menjual secara langsung kepada pembeli karena pada kenyataannya bank syariah tidak mempunyai persediaan barang. Hampir 80% pengadaan barang yang dijual kepada nasabah diwakilkan kepada nasabah bersangkutan untuk membelinya. Artinya nasabah membeli barang sendiri setelah diberikan fasilitas dana oleh bank syariah. Beberapa transaksi juga terjebak pada jual-beli fudhul, yaitu barang dijual belum benar-benar menjadi milik penjual atau milik bank syariah sudah dijual lagi kepada nasabah.
Secara formal bentuk akad atau perjanjian pembiayaan murabahah merupakan akad jual beli antara bank syariah selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, namun hakekatnya bank syariah sebatas menawarkan produk pembiayaan atau pendanaan kepada calon nasabah yang membutuhkan pendanaan, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif. Praktek ini masih mirip dengan mekanisme pada bank konvensional.

Murabahah: Idola Pembiayaan Bank Syariah
Masyarakat awam mempunyai kesan bahwa bank syariah adalah bank dengan sistem bagi hasil. Semua produk dianggap menggunakan bagi hasil. Padahal bank syari’ah dari fungsi penyaluran dana atau dalam bentuk pembiayaan banyak menawarkan produk pembiayaan dengan model pembiayaan murabahah (jual-beli). Hampir semua bank syariah di dunia didominasi dengan produk pembiayaan murabahah. Sistem penyaluran dana pembiayaan dengan bagi hasil dan lainnya masih sangat sedikit direalisasikan. Sebagaimana pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa produk murabahah masih merupakan produk primadona yang mendominasi dibandingkan produk penyaluran dana yang lain. Produk murabahah rata-rata di atas 50% kecuali di negara Turki yang didomiasi produk ijaroh.

Tabel Penyaluran Dana dalam Produk Bank Syariah di Beberapa Negara[3]

Jenis
Malays
Bahrain
B.desh
Emirat
Jordan
Turki
Murabahah
86,2%
69,9%
61,0%
96,3%
43,9%
17,3%
Ijarah
8,7%
13,3%
13%
-
-
60,6%
Mudharabah
-
-
3,2%
1,6%
-
-
Musyarakah
1.7
7,6%
12,9%
2,1%
2,8%
0,7%
Lainnya
3.4
9,2%
9,9%
-
53,3%
21,4%

Di Indonesia sendiri, dari kasus BNI Syariah bahwa pada akahir tahun 2001 menunjukkan 99% penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan murabahah dan pada akhir tahun 2002 menunjukkan angka 91%.[4] Data Bank Indonesia per Maret 2003 jumlah pembiayaan murabahah mencapai 71,20%, sedangkan pembiayaan bagi hasil, seperti musyarakah dan mudharabah masing-masing baru 1,92% dan 14,57%. Dari total pembiayaan perbankan syariah sebesar Rp 3,662 triliun, Rp 2,607 triliun di antaranya berupa murabahah. Parahnya lagi, persentase dari transaksi murabahah ini mayoritas untuk konsumsi, bahkan ada cabang bank syariah yang menyalurkan pembiayaannya 90% untuk kredit motor.[5] Persentase ini menunjukkan lebih tinggi daripada praktek murabahah di negara manapun di atas.

Bank Syariah: Problematika dan Solusinya
Dominasi pilihan yang jatuh pada murabahah tersebut disebabkan karena untuk jual-beli itulah kebutuhan riil masyarakat. Apabila dominasi tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian di salah satu bank syariah di Surakarta tentang Tanggapan Masyarakat Terhadap Bank Syari’ah yang menghasilkan temuan di antaranya bahwa alasan yang paling utama dari beberapa nasabah yang memperoleh pembiayaan di Bank Syari’ah utama yaitu ingin menghindari riba (65,96%). Alasan dari beberapa pengusaha yang tertarik untuk menabung dan memperoleh pembiyaan dari Bank Syari’ah ini cukup beragam. Alasan mengapa mereka tertarik pada Bank Syari’ah setelah diperdalam dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keuntungan maka faktor kesesuaian dengan syari’at Islam ini menjadi melemah. Hal ini berarti bahwa ketertarikan masyarakat terhadap Bank Syari’ah masih sangat terbatas pada faktor-faktor yang bersifat emosional, sementara faktor-faktor yang berkaitan dengan akses dan mutu pelayanan belum mendapat perhatian utama.[6]
Alasan ini memperlihatkan bahwa seseorang memilih bank syariah adalah alasan emosional-ideologis, bukan alasan yang memberi solusi pada nasabah, yang membantu nasabah dalam menyelesaikan problem-problemnya secara lebih baik, memberikan perbaikan pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat lemah dan pada tujuannya memberikan rahmah pada alam semesta. Solusi yang dimaksud di sini adalah alasan lebih adil, menolong, resiko ringan. Artinya, secara riil keberadaan bank syariah di dunia, khususnya di Indonesia baru dipandang sebagai penyelamatan diri secara emosional-ideologis, bukan penyelamatan (solusi) dari problem ekonomi, bahkan secara makro penyelamatan eksistensial, yang menyelamatkan kemanusiaan dari kekuatan kapital yang merongrong eksistensi kemanusiaan, yang berujung pada problem kemanusiaan.
Merujuk pada prinsip dasar perbankan syariah bahwa pola bagi hasil sesuai syariat Islam semestinya produk-produk perbankan yang berupa bagi hasil lebih unggul daripada produk-produk lainnya. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesan bahwa bank syariah Indonesia sebenarnya bukan bank bagi hasil, melainkan “Bank Murabahah”. Sebagian orang bahkan memelesetkan nama Bank Muamalat Indonesia menjadi “Bank Murabahah Indonesia”, Bank Syariah Mandiri menjadi “Bank Syariah Murabahah”. Semestinya pembiayaan bagi hasil lebih tinggi daripada pembiayaan yang lain, karena pembiayaan bagi hasil inilah yang dapat mempercepat pengembangan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan umat. Logikanya, umumnya pembiayaan profit and lose sharing atau revenue sharing tersalur ke sektor riil.
Fenomena ini tidak hanya dipacu oleh kondisi umat yang lebih berorientasi konsumtif, namun juga dipengaruhi oleh di antaranya kesulitan menembus pembiayaan bagi hasil tersebut. Prosedur yang memberatkan seperti adanya lamannya bidang pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dlaman. Untuk mengatasi hal ini, bank syariah sebenarnya bisa membangun jaringan dengan ulama atau tokoh masyarakat setempat. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan.
Bank syariah dalam prakteknya selama ini juga cenderung melakukan akad murabahah, karena bank syariah ingin memperoleh pendapatan yang tetap (fixed income), dari tingkat keuntungan murabahah yang telah ditentukan. Lebih ironis lagi beberapa kebijakan bank syariah untuk sektor pembiayaan masih relatif sama dengan kebijakan bank konvensional. Padahal kebijakan bank konvensional tersebut tidak tepat untuk diterapkan pada operasional bank syariah, khususnya mengenai kebijakan pada penentuan tarif keuntungan (margin/laba), jangka waktu pembiayaan, jaminan pembiayaan.
Beberapa kendala yang lain sebagai berikut; Pertama, Money Circulation yaitu sumber dana bank atau lembaga keuangan Islam yang sebagian berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, adverse selection, yaitu (1) pengusaha dengan bisnis yang memiliki keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan sistem mudarabah, (2) pengusaha dengan bisnis beresiko rendah enggan meminta pembiayaan mudarabah, sebaliknya justru yang beresiko tinggi yang sering menggunakan sistem mudarabah, (3) pengusaha memberikan prospektus proyek yang terlalu optimis (hanya) agar pihak bank tertarik. Ketiga, moral hazard yaitu pengusaha mempunyai dua pembukuan, yaitu (1) yang diberikan kepada bank; yang tingkat keuntungannya kecil, sehingga porsi keuntungan yang diberikan juga kecil, padahal pembukuan yang (2) sebenarnya mempunyai keuntungan berjumlah besar.
Idealisme perbankan Syariah adalah perbankan yang dilandasi teori, prinsip ekonomi dan perangkat undang-undang yang mantap. Pelaku-pelakunya mempunyai akhlak yang itqan (tekun), dan Ihsan (profesional) dalam bidang ekonomi, baik yang berperan sebagai produsen, konsumen, pengusaha, dan karyawan. Setiap langkah bisnis harus didasari al-amanah, al-istiqamah, at-taqwa, as-sidq, al-haq dan al-qulb. Antisipasi pada kecenderungan penyimpangan dapat diterapkan metode reward dan punishment (insentif dan sanksi) setiap kali terjadi dalam transaksi. Hal ini untuk mengeliminir kecurangan dan menjaga agar nasabah yang amanah tetap tegar.
Perjalanan perbankan syariah yang masih sangat muda memberikan kesempatan untuk berkembang secara lebih pesat dan dengan dinamika yang agresif dan secara bertahap (gradual). Dasar pijakan yang bisa digunakan adalah penelitian-penelitian tentang perbankan syariah yang dilakukan oleh pihak perbankan syariah, dewan syariah, dan akademisi. Agresivitas dan dinamika yang dilakukan oleh perbankan syariah dilakukan dalam bingkai semangat perbaikan terus menerus.

Kesimpulan
Fenomena yang terjadi pada praktek bank syariah menunjukkan bahwa bank syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam belum menunjukkan perannya yang signifikan dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan ekonomi umat. Kekuatan bank syariah selama ini hanya bertumpu pada pijakan emosional-ideologis yang memang menjadi kekuatan yang terbesar. Namun akan sangat rentan apabila perkembangan bank syariah tidak menunjukkan perannya yang lebih signifikan pada pengembangan ekonomi dan kesejahteraan umat.
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah membuka konsep-konsep pembiayaan yang masih mungkin digulirkan, dengan prosedur yang lebih mudah dan tetap hati-hati. Beberapa perbaikan berkaitan dengan problema di atas adalah peningkatan mutu sistem pembiayaan yang lebih baik. Secara riil adalah menghindari transaksi jual-beli fudhul dan memprioritaskan pembiayaan kepada sektor riil yang membuka peluang lapangan pekerjaan dan memperkecil kemiskinan. Prosedur yang memberatkan seperti adanya masa pekerjaan bagi nasabah yang mengajukan permohonan perlu dirubah dengan mengadakan pendampingan. Jadi bukan menolak permohonan pembiayaan produktif, tetapi menerima dengan pendampingan atau dengan personal guarantee atau ad dlaman. Dengan model ini lapangan kerja akan lebih terbuka dan pada gilirannya kesejahteraan akan menjadi lebih luas sebarannya.

Daftar Bacaan

Ahmad Dahlan, 2002, “Implementasi Pembiayaan Mudarabah di BMT Mentari Artha Kota Tegal (Studi Kasus Tahun 1996-2001),” Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

Bahauddin, 2003, “Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank BNI Syariah Yogyakarta),” Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia.

Buku Pedoman Perusahaan BNI Syariah, 2000, Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan, Jakarta: BNI Syariah

Majalah MODAL, “Rubrik Gagas, Ulas, Nyeleneh” No. 9/I Juli 2003.

Muhammad, 2003, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah: Mudharabah dalam wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta

Muhammad dan Sholihul Hadi, 2003, Pegadaian Syariah, Yogyakarta, Salemba Diniyah.

Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasional Prinsip Perbankan Islam, Kuala Lumpur, Berita Publishing

Syamsudin, 2003, “Praktek Perbankan Bebas Riba: Studi Kasus di Bank Syari’ah,” Tesis MSI UII Yogyakarta.
[1] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah: Mudharabah dalam wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS Yogyakarta, 2003), hal. 22-23.
[2] Buku Pedoman Perusahaan, Petunjuk Pelaksanaan Pembiayaan, (Jakarta: BNI Syariah, 2000) hal. 2-6.
[3] Sumber dari Sudin Haron, 1996, Prinsip dan Operasional Prinsip Perbankan Islam, Kuala Lumpur, Berita Publishing; dikutip dari Bahauddin, “Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank BNI Syariah Yogyakarta),” Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Tahun 2003, hal. 8.

[4] Bahauddin, Evaluasi Praktek Produk Pembiayaan Murabahah pada Bank Syariah (Studi Kasus Pada Bank BNI Syariah Yogyakarta), Tesis Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Tahun 2003, hal. 9.

[5] Majalah MODAL No. 9/I Juli 2003, “Rubrik Gagas, Ulas, Nyeleneh”, hal. 82.
[6] Syamsudin, Praktek Perbankan Bebas Riba (Studi Kasus di Bank Syari’ah), Tesis MSI UII Yogyakarta Tahun 2003.

Tidak ada komentar: