Senin, 09 Juni 2008

Pengaruh Nilai - nilai Sholat dalam Etos Kerja

oleh : Dr. H. Amir Mu'allim, MIS.

MSI-UII.Net - 9/12/2004
Pendahuluan
Tarmizi Taher, saat menjadi Menteri Agama pada tahun 1997 pernah mengadakan kunjungan ke Ceper (Klaten Jawa Tengah) di pusat usaha baja. Menurutnya, di Ceper ia menemukan suatu kenyataan bahwa ada kaitan yang sangat kuat, antara dimensi Spiritualitas dengan kegiatan ekonomi industrial di pedesaan. Dimensi Spiritualitas nampak pada etos kerja masyarakat yang dibangun berdasarkan keyakinan agama, sehingga kegiatan ekonomi mereka tidak dapat dilepaskan dari motivasi agama, yang secara konkrit terlihat pada pengaruh keberhasilan usahanya. Keberhasilan tersebut mendorong mereka untuk ikut serta dalam usaha memajukan kegiatan sosial, pendidikan dan keagamaan masyarakat, seperti membangun sekolah, masjid dan kegiatan sosial lainnya.[1]
Kesan yang disampaikan oleh Tarmizi Taher tersebut senada dengan hasil penelitian Weber pada lingkungan masyarakat Protestan sekte Calvinis. Menurutnya, agama yang bersemangat modernlah yang akan memberikan dorongan, spirit terhadap pertumbuhan ekonomi kapitalisme. Weber menyindir kaum Katolik yang dilihatnya suka hidup membiara.[2] Secara tegas Weber berpendapat bahwa terdapat hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi, yakni keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada pranata-pranata yang membentuk masyarakat.[3]
Penelitian yang lain yang dilakukan di Indonesia, yang ‘menguji’ tesis Weber di atas dilakukan antara lain oleh Sayuti Hasibuan di Masyarakat Angkola/Sipirok (1994), Mochtar Naim pada masyarakat Minangkabau (1979), Muhammad Sobary pada masyarakat Betawi (1991), Clifford Geertz di Mojokuto dan Tabanan Bali (1969), Lance Castles pada masyarakat Kudus (1967) dan Irwan Abdullah di Jatinom Klaten (1994). Menurut Nur Hamnah, penelitian-penelitian tersebut menemukan, baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa agama secara terang-terangan maupun diam-diam mendorong adanya semangat kapitalisme industrial, berekonomi modern.[4]
Dari beberapa pendapat dan penelitian yang dilakukan di atas (sejak penelitian Weber hingga di Ceper Indonesia tahun 1997 yang dilakukan Musa Asy’arie), dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran agama mempunyai pengaruh terhadap perilaku ekonomi.
Tulisan ini akan mengkaji tentang nilai-nilai spiritual Shalat dan Pengaruhnya terhadap Etos Kerja. Tulisan ini akan diawali dengan kualitas shalat yang dijalankan oleh musholli dengan mengambil tema perkembangan kualitas musholli. Selanjutnya, akan dibahas tentang spirit shalat dan hikmah tasyri’ sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas musholli; kemudian dibahas tentang etos kerja untuk melakukan analisis dan menghasilkan kesimpulan tentang pengaruh shalat terhadap peningkatan etos kerja.

Perkembangan Kualitas Musholli
Quraish Shihab,[5] dengan merujuk kalimat-kalimat yang diucapkan Sayyidina Ali karramallahu wajhah: “Saya sungguh tercengang. Tidak pernah saya melihat sesuatu yang serius dan pasti, tetapi dianggap remeh seakan tidak akan terjadi, yakni maut. Saya juga tidak melihat sesuatu yang akan ditinggalkan lagi kecil, tetapi diperebutkan seperti yang besar dan kekal, yakni dunia.”; mengungkapkan bahwa: “Saya sungguh bingung dan tercengang menyangkut uraian shalat. Apakah ia merupakan ulangan yang tidak dibutuhkan lagi, mengingat telah lamanya kewajiban ini telah dikenal umat; ataukah ia merupakan uraian yang sangat dibutuhkan mengingat banyaknya umat yang enggan shalat atau ingin tapi tak tahu, akan mengerjakan tapi keliru, atau mendirikan dan melaksanakan tapi tidak menghayati.”
Ungkapan-ungkapan kalimat ini mengandung pengertian bahwa shalat adalah sebuah aktivitas yang menjadi kewajiban yang dilaksanakan berulang-ulang, setiap hari lima kali, sehingga bagi sebagian orang menjadi rutinitas yang membosankan. Kalimat tersebut juga mengungkapkan seringnya penjelasan tentang shalat, karena nilai pentingnya, namun banyak orang yang tidak melaksanakannya, baik karena tidak tahu (tidak mempunyai ilmunya), atau mengerjakan tetapi kurang sempurna dan atau tidak mampu menghayatinya.
Apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab tersebut adalah fenomena mayoritas umat muslim (terutama di Indonesia). Kebanyakan umat muslim yang mengerjakan shalat dengan tanpa penghayatan. Hal inilah yang menyebabkan shalat menjadi hanya rutinitas jasadiyah tanpa makna dan tidak memberikan pengaruh pada kematangan jiwanya. Nilai-nilai yang menjadi implikasi positif tidak menyentuh mereka, apalagi as shalatu tanha ‘anil fakhsya wal mungkar. Hal ini secara tegas dijelaskan oleh Alah SWT dalam Al Qur’an: “Celakalah orang-orang yang shalat, tetapi lalai akan (makna) shalat, yaitu mereka yang riya’ dan menghalangi pemberian bantuan” (QS. 107: 47).
Proses menuju shalat bermakna harus dimulai tahap demi tahap. Sebagaimana pendapat Iqbal,[6] tahap perkembangan religiusitas seseorang dibagi menjadi tiga, yaitu fase keyakinan, pemikiran dan penemuan. Fase keyakinan ditandai dengan disiplin kuat yang harus diterima oleh perseorangan maupun kelompok sebagai perintah tanpa syarat dan tanpa pengertian rasional tentang makna dan tujuan dari perintah tersebut. Fase pemikiran adalah munculnya pengertian rasional terhadap disiplin tersebut dan sumber asasi kekuasaannya. Pada fase ini kehidupan agama mencari landasan pada semacam metafisika, suatu pandangan yang logis mengenai dunia dan Tuhan menjadi bagian pada pandangan tersebut. Fase penemuan, metafisika tergeser oleh psikologi dan selanjutnya kehidupan religius mengembangkan hasrat mengadakan hubungan langsung dengan realitas terakhir. Pada fase ini agama menjadi persenyawaan pribadi antara kehidupan dan kekuasaan, sehingga individu mencapai kepribadian yang merdeka, namun tidak melepaskan diri dari ikatan hukum. Di sini individu menemukan sumber asasi hukum di dalam kedalaman kesadarannya sendiri.
Dalam konteks shalat, pendapat Iqbal dapat diaplikasikan bahwa orang yang shalat (musholli) dalam pandangan Iqbal ini dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase musholli yang menjalankan shalat dengan landasan keyakinan, pemikiran dan penemuan. Musholli yang akan mampu merasakan manfaat dari shalatnya adalah yang telah memasuki fase kedua dan ketiga. Untuk memasuki fase kedua dan ketiga musholli harus memproses dirinya menuju fase kedua, yaitu Fase pemikiran. Proses menuju fase kedua ini dapat dimulai dengan memahami esensi shalat dan hikmah tasyri’ yang ada dalam shalat.

Memahami Spirit Shalat Melalui Esensi Shalat dan Hikmah Tasyri’
Perintah-perintah shalat dalam al-Qur’an, hampir semua menggunakan aqimu. Kata aqimu biasa diterjemahkan dengan “mendirikan”, meskipun terjemahan tersebut tidak tepat. Seperti pendapat mufassir al Qurtuby, aqimu bukan terambil dari kata qoma yang berarti “berdiri” tetapi kata itu itu berarti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah shalat bermakna “melaksanakan dengan baik, khusyuk dan bersinambungan sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya.”[7]
Shalat secara etimologis berarti do’a. Do’a adalah keinginan yang dimohonkan kepada Allah SWT. Jika seseorang memohon, maka harus merasakan kelemahan dan kebutuhan di hadapan Dzat tempat memohon. Shalat yang dilakukan dengan penghayatan bahwa dirinya tak lebih dari seorang hamba, yang menerima karunia berupa segala apa yang melekat pada dirinya; mulai dari bulu mata sampai detakan nafasnya dan rasa kebutuhannya akan kasih, sayang dan pertolongan-Nya, paling tidak akan memberikan kekhusyukan dalam shalat. Jangankan merasakan gempa bumi sampai 8 skala richter, yang mengoyang gunung-gunung dan merobohkan gedung bertingkat, merasakan getaran bom rakitan saja kalang kabut, begitu lemahnya dan butuhnya manusia akan kemurahan Tuhannya![8]
Esensi shalat juga dapat ditelusuri adalah dari pemahaman bahwa shalat adalah kesempatan merasakan berinteraksi dengan Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan oleh sebuah hadis tentang surat al Fatihah (yang merupakan rukun shalat, dan dibaca tiap rekaat) yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Ibnu Ka’ab juga menjelaskan keutamaan surat al Fatihah. Nabi bersabda, “Allah tidak menurunkan surat seperti surat al Fatihah, baik di dalam kitab Taurat dan kitab Injil. Surat al Fatihah adalah surat yang terdiri dari tujuh ayat yang terbagi menjadi dua bagian, satu bagian untuk-Ku dan satu untuk hamba-Ku.” Bagian Allah SWT adalah saat dibaca basmallah sampai maliki yaumiddin, dan bagian hamba adalah mulai iyyakana’budu sampai waladdhollin. Memahami makna ini akan mengantarkan pada kondisi interaksi yang harmonis antara Tuhan Hamba.
Setiap gerakan dan bacaan dalam shalat (termasuk di dalamnya syarat sah dan rukun shalat) mengandung esensi dan hikmatut tasyri’ yang akan memberikan pemahaman dan penghayatan yang sangat penting bagi proses menuju fase-fase religiusitas seseorang. Hikmah tasyri’ yang dimaksud adalah seperti kedisiplinan, kebersihan, kesehatan, sugesti kebaikan, dan kebersamaan. Pengetahuan dan pemahaman secara komprehensip akan memberikan pengertian rasional terhadap shalat dan sumber asasi shalat. Dan pada gilirannya musholli akan menemukan makna dari shalat adalah tiang agama.
Selanjutnya, untuk memasuki pada fase ketiga, di mana musholli pada fase ini menjadikan shalat sebagai persenyawaan pribadi antara kehidupan dan Tuhan, sehingga individu mencapai kepribadian yang merdeka, namun tidak melepaskan diri dari ikatan hukum. Di sini individu menemukan sumber asasi hukum di dalam kedalaman kesadarannya sendiri. Proses untuk menuju fase ketiga adalah dengan pengamalan dan pengamalan dengan tanpa putus asa mengharap. Pada tahap inilah, sebagaimana sering dikemukakan para da’i sebagai penemuan akan manisnya ibadah (shalat). Pada fase ini, shalat adalah kebutuhan hidupnya.

Etos Kerja
Etos adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan batin, moral dan gaya estetis serta suasana hati. Secara ringkas etos adalah sikap mendasar terhadap diri dan terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan. Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, maka etos kerja pada dasarnya merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.
Pebentukan dan penguatan etos kerja tidak semata-mata ditentukan oleh kualitas pendidikan atau prestasi yang berhubungan dengan profesi dan dunia kerja, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan erat dengan inner life-nya, suasana batin, semangat hidup, yang bersumber pada keyakinan atau iman.
Etos kerja dalam Islam dapat disederhanakan menjadi kemasan amar ma’ruf nahi munkar. Makna amar ma’ruf nahi munkar sendiri bisa bersifat untuk diri sendiri dan orang lain. Artinya, makna itu harus terinternalisasi pada setiap diri manusia untuk kemudian bersifat out ward pada orang lain dan lingkungannya[9]. Etos kerja dalam Islam pada dasarnya merupakan perwujudan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas, sebagai kesatuan penjelmaan dari abd’ dan khalifah. Moralitas dapat dilihat sebagai penjelmaan wawasan batin abd, yang fungsinya memberikan arah, tujuan dan pemaknaan dalam mengaktualisasikan daya-daya intelektualnya. Intelektualitas adalah penjelmaan kecerdasan khalifah yang fungsinya untuk merumuskan konsep-konsep pemikiran yang mendalam dan menyeluruh untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia dalam segala aspek kehidupannya secara konkrit.
Unsur-unsur etos kerja. Unsur-unsur etos kerja, baik dalam konsep kapitalis maupun Islam tidak mempunyai perbedaan yang esensial. Keduanya mempunyai persamaan yang meliputi hemat dalam menggunakan uang, menyerahkan sesuatu pekerjaan pada ahlinya dengan tujuan menyerahkan keprofesionalan dalam kerja, pembagian waktu dan efisiensi, serta memiliki jiwa wiraswasta. Hanya saja dalam Islam, jika hasil kerja yang diperoleh “memiliki kelebihan” diwajibkan untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk fakir-miskin, anak yatim melalui zakat. Kerja dalam Islam didasarkan pada tiga unsur, yaitu tauhid, takwa dan ibadah. Tauhid mendorong bahwa kerja dan hasil kerja adalah sarana untuk mentauhidkan Allah SWT, sehingga terhindar dari pemujaan terhadap materi. Takwa adalah sikap mental yang mendorong untuk selalu ingat, waspada dan hati-hati memelihara diri dari noda dan dosa, menjaga keselamatan dengan melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Ibadah artinya melaksanakan usaha atau kerja dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sebagai realisasi dari tugasnya menjadi khalifah fil ardl, untuk mencapai kesejahteraan dan ketentraman di dunia dan di akhirat.[10]

Pengaruh Shalat terhadap Kualitas Etos Kerja
Berkaitan dengan shalat yang memiliki esensi sebagai media interaksi dengan Tuhan do’a dan tiang agama, maka saat musholli mampu mendapatkan esensi dan memahami hikmah dan menghayatinya, maka sebagaimana pendapat-pendapat di atas akan memunculkan sikap dan perilaku yang berdasar pemahaman dan penghayatannya terhadap agama. Dan Shalat sebagai tiang agama, maka akan sangat berhubungan apabila kualitas dan kuantitas shalat semakin baik, maka sikap dan perilaku musholli juga akan semakin baik, termasuk di dalam sikap dan perilaku etos kerja.
Musa Asy’arie berpendapat bahwa setiap tahap perkembangan agama (religiusitas) seseorang akan mempengaruhi etos kerjanya.[11] Pada puncak fase perkembangan seseorang (fase ketiga) maka etos kerja yang dibangunnya adalah etos kerja yang memperteguh kemanusiaan yang membebaskan manusia dari segala macam bentuk perhambaan pada ciptaannya sendiri. Etos kerja yang memacu kreativitas dan produktivitas manusia untuk pembebasan dari segala bentuk perhambaan pada hal-hal yang bersifat sementara. Etos kerja yang meletakkan uang, kekuasaan dan ilmu pengetahuan bukan sebagai tujuan, melainkan alat perjuangan spiritual yang mencerahkan dan memperteguh kemanusiaan.[12]
Dinamika psokilogi yang terjadi dalam pengaruh nilai-nilai shalat terhadap profesionalisme kerja (beretos kerja tinggi) adalah sebagai berikut:
1. Niat Ikhlas; musholli yang mampu membangun niat ikhlas dalam melaksanakan shalat berarti mempunyai kekuatan visi yang sangat kuat. Artinya shalat yang bagi banyak orang hanya merupakan rutinitas jasadiyah tanpa makna, maka apabila individu yang mampu keluar dari kungkungan tersebut, berarti telah menemukan visi dalam hidupnya. Dalm konteks dunia kerja, visi ini sangat penting untuk memberikan paradigma dan misi serta tujuan yang jelas bagi apa yang akan dikerjakan seseorang. Sangat berbeda individu yang bekerja dengan pengetahuan dan pemahaman bahwa pekerjaannya mempunyai tujuan dan individu yang bekerja tanpa tujuan. Seorang akademisi yang melakukan penelitian untuk menyelesaikan problem kemanusiaan akan sangat berbeda dengan akademisi yang melakukan penelitian hanya untuk memenuhi poin untuk kenaikan pangkat.
2. Jalan Lurus; Masih berkaitan dengan niat di atas, di samping memberikan kekuatan visi juga akan memberikan nilai-nilai moral bagi musholli, yang mana hal ini juga akan terefleksi dalam dunia kerja yang ditekuninya. Kalau saat ini banyak orang yang rajin shalat namun maksiat juga terus adalah disebabkan yang bersangkutan belum melaksanakan shalat secara benar. Dalam fase perkembangan musholli, ia belum sampai pada fase paling awal, yaitu fase keyakinan, bahkan sangat mungkin shalatnya adalah bukan untuk shalat, tapi untuk yang lain.
3. Nilai-nilai kedisiplinan; seseorang yang dengan baik menjaga shalatnya, akan terinternalisasi dalam dirinya nialai-nilai disiplin. Hal ini karena shalat mempunyai nilai-nilai kedisiplinan yang terletak pada waktu, menjaga kesucian, dan menjaga dari yang membatalkan shalat, bahkan lebih dalam lagi, menjaga hati yang dapat membatalkan shalat. Nilai-nilai kedisiplinan ini akan membentuk musholli mempunyai kedisiplinan yang tinggi dalam sikap dan perilakunya. Dalam konteks profesionalisme kerja ia akan disiplin dalam waktu dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan bersama.
4. Fokusing; Mushollli yang sudah mampu melaksanakan shalat tidak hanya ‘roboh-roboh gedang’, namun juga mampu khusyu berarti ia mampu melakukan konsentrasi secara ketat. Dalam konteks dunia pekerjaan individu yang mampu menfokuskan dirinya pada target, maka kemungkinan mencapai keberhasilan terbuka daripada individu yang tidak mampu bekrja secara terfokus.
5. Komitmen pada kemanusiaan; Musholli yang memahami dan menghayati aktivitas shalatnya, maka terinternalisasi dalam dirinya nilai-nilai kepedulian terhadap kemanusiaan. Hal ini dapat dipahami dari makna salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri, yang berarti memberikan/mengharap keselamatan/kesejahteraan bagi orang dan alam di sekelilingnya. Dalam konteks dunia bekerja, maka dia akan berusaha untuk beraktivitas yang tidak menyakiti orang-orang di sekitarnya.

Penutup
Shalat yang dijalankan dengan landasan fase pemikiran dan fase penemuan akan mempunyai korelasi bahkan pengaruh terhadap peningkatan kualitas etos kerja. Musholli yang sampai pada fase penemuan akan menemukan juga kesejatian dirinya, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun hubungannya dengan manusia.

Daftar Bacaan

Al Qur’an

M. Quraish Shihab, 1997, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cetakan VIII, Bandung: Mizan.

Max Weber, 1958, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons, New York: Charles Scribners.

Musa Asy’arie, 1997, Islam: Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi bekerjasama Institut Logam.

Nur Hamnah, 2000, Etos Kerja: Telaah Perbandingan Kapitalis dan Islam, Tesis MSI UII Yogyakarta

Taufik Abdullah (ed.), 1988, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, cet. IV, Jakarta: LP3ES.

Tidak ada komentar: