Rabu, 25 Juni 2008

Pembahasan tentang Ahwar menurut ana

Akhwat memiliki ciri khusus dibandingkan dengan ikhwan (Ya, iyalah...secara). Bahkan, sekarang kata akhwat telah mengalami pergeseran makna, dari yang awalnya adalah saudari (saudara perempuan) berbentuk jamak menjadi perempuan muslimah yang telah memahami dan melaksanakan syari’at secara umum. Akhwat (dalam pengertian kedua tersebut) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
· Hijab
Hijab yang ana maksudkan adalah pakaian dan jilbab, bukan pembatas ruang. Jilbab lebar yang menutupi kepala dengan sempurna kecuali bagian wajah. Ketebalan jilbab juga tidak memungkinkan cahaya untuk tembus, maksudnya bukan jilbab transparan. Umumnya tidak menggunakan warna yang mencolok seperti merah jambu atau warna cerah lain, tapi hal ini tidak mutlak dan sama-sama syar’i. Biasanya warna yang dipilih adalah warna putih polos atau hitam polos, tapi tidak menutup kemungkinan dengan warna-warna lain bahkan dengan motif batik sekalipun.
Lebar jilbab biasanya mampu untuk menutupi bagian (afwan...) dada. Bahkan beberapa akhwat juga mengenakan jilbab dengan ukuran yang lebih lebar serupa dengan burqa di Afghanistan sana. Jilbab lebar model begini secara teori mampu menghapus jejak aseli dari bentuk perempuan.
Pakaian yang paling sering dikenakan adalah qamis/gamis dengan panjang melebihi pinggul (bagian tubuh yang ‘itu’ namanya pinggul, panggul apa pinggang? Ua ah...). Panjangnya lebih dari 30 centimeter. Terkadang juga mengenakan bahan dari kaos yang juga panjang. Seperti pakaian yang lain, baju juga dibuat cukup longgar sehingga jejaknya menjadi samar.
Sebagian besar akhwat mengenakan rok, tapi ada juga satu dua tiga empat yang mengenakan celana panjang longgar. Alasan utama adalah karena dengan rok maka jejak yang ada akan lebih tersamar serta tidak menyerupai ikhwan (padahal ikhwan juga pakai sarung). Ustadz Sarwat memberi kelonggaran bagi yang memakai celana, tapi dengan syarat yang ana lupa isinya. Setahu ana, seluruh akhwat yang memakai rok juga memakai celana panjang sebagai double protector. Bahan yang digunakan sebagai rok umumnya kain katun, tapi menjelang tahun-tahun terakhir banyak akhwat yang memakai rok dengan bahan jeans. Ana sih secara pribadi kurang sreg, walaupun syar’i juga. Menurut ana, jeans adalah lambang neokolonialisme orang kafir kepada muslim.
Untuk bagian paling bawah, setahu ana, akhwat memakai kaos kaki yang umumnya berwarna cokelat mirip dengan warna kulit, tapi tidak mutlak. Bagian bawah dari kaki sebagai aurat merupakan khilafiah. Imam Abu Hanafi menganggapnya bukan aurat, sementara tiga imam yang lain menganggapnya sebagai aurat. Setau ana, jama’ah tarbiyah memilih opsi yang menyatakan kaki adalah aurat. Jadi, secara personal ana melihat apakah seseorang hijabnya sudah sempurna dengan melihat ciri-ciri memakai kaos kaki, tapi yang di bagian atas kudu beres dulu lho...
· Akhlaq
Akhwat (seharusnya) memiliki akhlaq yang lebih baik dibandingkan dengan msulimah pada umumnya. Hal ini karena akhwat telah memperoleh pendidikan/tarbiyah mengenai akhlaq secara kontinyu maupun tidak. Pemahaman tentang kesempurnaan Islam dan teladan rasulullah menyebabkan akhwat memiliki akhlaq yang lebih baik.
Akhaq ini tercermin dalam menjaga pergaulan dengan ikhwan. Ghadhul bashar alias menahan pandangan. Sehari-hari ngitungin kerikil di jalan. Kalau di jalan dan kebetulan berpapasan dengan ikhwan, makin dalam menundukkan pandangan.
Akhwat juga rajin memberikan salam. Kesini bilang salam, kesana bilang salam. Tapi kalau di jalan papasan sama ikhwan, tidak mau memberi salam. Takut timbul fitnah katanya. Kalau ketemu sama laki-laki ‘ammah langsung say hai. Kalau ngobrol dengan ikhwan dijaga bener-bener izzahnya, tapi kalau ketemu tukang sayur bercandanya cair bangetzs. Untung tukang sayurnya nggak bilang, “Saya ikhwan juga, lho...” (Gedhubrakkkxx....v^_^)
Standar ganda! Berlaku juga di ikhwan kok....Lets learn together!
· Pergaulan dan Aktifitas
Pergaulan akhwat sangat ditentukan oleh aktifitasnya. Bagi akhwat haraki yang memiliki aktifitas segudang, tentu pergaulannya akan lebih luas dibandingkan dengan akhwat salafi yang hanya mencari ilmu di kajian tsaqafiyah.
Akhwat yang memiliki amanah public sebagai sekretaris, bendahara atau mas’ulah wajihah akan banyak kegiatan. Kalau tidak syura’ strategis tentu akan melaksanakan kegiatan-kegiatan teknis. Kepanitiaan-kepanitiaan juga menyita banyak waktu.
Pada kesempatan pergaulan seperti itu biasanya interaksi antar jenis juga lebih sering terjadi. Maksud ana antara ikhwan dan akhwat. Pergaulan yang terlalu cair (dan tidak cair) dapat membuat wanita yang hatinya seteguh es meleleh menjadi air jika diri tidak dibentengi dengan iman, ilmu dan amal. Konon, perempuan lebih mudah tersentuh daripada laki-laki, apalagi akhwat dan ikhwan yang sudah pada ngebet pengen nikah. Sangat, sangat sensitive.
Dalam beraktifitas di sebuah wajihah, akhwat jelas berbeda dengan ikhwan. Akhwat biasa melaksanakan kegiatan di siang hari, sementara ikhwan lebih banyak melaksanakan kegiatan di malam hari. Liqa’at akhwat sering di siang hari bahkan harus di siang hari. Sementara ikhwan jauh lebih fleksibel melaksanakannya siang ataupun malam hari. Bahkan tidak jarang liqa’at ikhwan dimulai jam sepuluh malam.
Akhwat juga terkena jam malam. Hal ini untuk mencegah fitnah dan menjaga citra akhwat di mata masyarakat umum. Walaupun aktifitas akhwat di malam hari tergolong aktifitas positif, tapi masyarakat selalu melihat bahwa akhwat yang keluyuran malam bukanlah akhwat positif. Bahkan akhwat yang keluyuran malam dapat member citra buruk secara kejama’ahan dsan Islam secara umum. Jadi, akhwat punya tanggung jawab juga untuk menjaga citra jama’ah selain menjaga citra diri. Bukan hal ringan memang.
· Fikrah atawa Pemikiran
Selama ini yang ana sebut dengan akhwat adalah yang fikrahnya adalah fikrah pergerakan atau aktifis. Yang sekedar jadi pasifis tidak ana sebut sebagai akhwat (dalam arti sempit). Akhwat terbagi dalam beberapa fikrah:
1. Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin
Fikrah ini memandang bahwa Islam adalah sistem yang sempurna dan menyangkut seluruh sendi kehidupan dan kematian. Langkah yang ditempuh untuk mencapai ridha Allah dilakukan secara bertahap dari perbaikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara, negeri Islam lainnya, negeri kafir, dan dunia seluruhnya. Ciri utamanya adalah kegiatan tarbiyah dalam halaqah-halaqah kecil secara pekanan. Saat ini jama’ah tarbiyah menjelma menjadi partai politik yang singkatannya sama dengan singkatan nama blog ini ^_^v
2. Hizbut Tahrir
Fikrah ini memandang untuk meraih ridha Allah adalah dengan menerapkan syari’at dimuka bumi dengan perantaan khilafah islamiyah. HT merupakan partai politik yang tidak terjun ke politik. Menggunakan cara-cara revolusioner untuk mewujudkan tujuan. Cirinya adalah menggunakan bendera/liwa’ bertuliskan Lailaha illallah muhammadar rasulullah dalam berbagai atributnya.
3. Jama’ah Tabligh
Fikrah ini memandang bahwa ridha Allah didapat dengan memperbaiki diri sendiri dan hal itu dilakukan dengan memperbaiki iman dan amal. Banyak melakukan kegiatan amaliyah di masjid-masjid, berda’wah dengan sistem direct selling dari door to door. Jama’ah ini cukup dekat dengan pemikiran-pemikiran sufistik.
4. Salafi
Fikrah ini memandang bahwa satunya yang perlu diperbaiki saat ini dari ummat Islam adalah akidahnya. Membid’ahkan merupakan hal-hal tertentu merupakan kebiasaan mereka. Sangat mengedepankan kajian-kajian ilmiah. Mereka sangat dipengaruhi oleh pendapat para salafush shalih sehingga orientasinya ke belakang dan jarang melihat masa kini.
Itulah keempat fikrah yang dominan di Indonesia dan saya menyebut anggota perempuannya sebagai akhwat, dalam arti sempit. Untuk fikrah seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama, ana belum menyebutnya sebagai akhwat karena sebagian besar dari anggotanya yang memenuhi ciri-ciri akhwat merupakan pendekatan dari keempat fikrah diatas. Sebenarnya masih ada juga fikrah (atau organisasi) lain seperti Persatuan Islam, DDII, Hidayatullah dan Majelis Mujahidin, tapi menurut ana, organisasi ini juga berada di dekat salah satu dari 4 fikrah besar diatas.
· Ibadah
Akhwat memiliki pemahaman Islam yang lebih dibandingkan dengan muslimah pada umumnya. Karena itu, mereka bisa memahami masalah khilafiah, fiqh ibadah mahdhah dan ghairu madhah. Untuk yang berfikrah tarbiyah biasanya ibadahnya adalah:
1. Tilawah 1 juz per hari
2. Membaca wirid al ma’tsurat pagi dan petang
3. Qiyamul lail minimal 3 kali per pekan
4. Puasa minimal 3 kali per bulan
5. Shadaqah minimal sepekan sekali
6. Membaca buku: fiqh ibadah, manhaj pergerakan/harakah, pemikiran, sirah, dll
7. dll
Itulah sebagian dari ciri-ciri akhwat yang kasat mata. Untuk yang tidak kasat mata, Allah dan akhwat yang lebih tahu dari ana. Insya Allah, muslimah yang memiliki ciri-ciri seperti itu akan ana akui sebagai ‘akhwat’ dengan penyesuaian ter tentu.
Bukan hal yang mudah bagi seorang muslimah untuk mendapatkan sebutan akhwat seperti yang ana maksudkan. Butuh perjuangan yang sangat berat dan melelahkan namun juga membahagiakan. Butuh pertimbangan yang matang dan cermat. Butuh waktu dan proses yang lama dan berkesinambungan untuk menjaganya. Dan yang terpenting adalah butuh campur tangan Allah dalam mewujudkannya.
Perubahan wujud muslimah menjadi akhwat sangat ditentukan oleh kehendak Allah. Dengan mudah Allah mampu memberikan hidayah dan kekuatan untuk mentransformasikan diri menjadi akhwat. Sebaliknya Allah juga mampu mencegah seeorang yang sekuat tenaga ingin menjadi akhwat. Bagi Allah, itu urusan yang sangat mudah.
Ana secara pribadi memberikan penghormatan yang lebih kepada akhwat dibandingkan kepada ikhwan sendiri. Pandangan subyektif ini karena seakan-akan untuk menjadi akhwat sangatlah berat. Selain itu ada perasaan tertentu dalam diri saya untuk tidak meremehkan akhwat.
Dulu ketika SMA, ana mengenal banyak siswi. Dengan perangai jahiliyah masa itu, ana termasuk orang yang seneng bercanda. Bahkan terlalu cair di beberapa kondisi. Sering juga duduk sebangku dengan siswi lain, bahkan sering sekali. Bercandanya juga dengan sering kelewatan. Bahkan beberapa siswi ‘ganas’ di kelas ana biasa melakukan penyiksaan terhadap para siswa dengan melakukan tindakan pidana pemukulan secara terencana. Ana termasuk korban juga, meskipun masih dalam koridor bercanda gaya siswa SMA. Sesuatu yang tidak syar’i tentunya.
Dari sekian banyak siswi yang jadi teman bercanda di sekolah, ada dua muslimah yang ana ‘tidak berani’ bercanda dengan mereka. Sekarang salah satunya jadi akhwat beneran. Salah satunya lagi kuliah di UIN. Kepada yang pertama ana tidak berani mengganggu karena beliau adalah siswi yang waktu itu pemahaman agamanya sudah dalam, rajin ibadah, jilbabnya sudah agak lebar, bahkan ketika ketemu di luar sekolah ternyata beliau sering memakai gamis. Makin lengkaplah penderitaan ana untuk tidak mengganggu siswi ini. Saat itu sudah ada perasaan menghormati yang lebih kepada muslimah yang memang bener-bener alim (alim itu menurut ana artinya orang yang cenderung pendiem, maktu itu). Ibaratnya takut dosa kalau mengganggu orang yang agamanya bener.
Dalam satu kesempatan misalnya, ana bercanda dengan teman yang lain sambil ketawa-ketiwi, ngobrol ngalor ngidul gak jelas dan kemudian beliau mendatangi majelis bercandaan kami maka dengan serta merta dan ujug-ujug ana langsung mak klakep, diam seribu kata. Bagi ana, bercanda di depan beliau kok salah atau gimana gitu. Mending diem aje kali ye...
Dari sikap ana yang seperti itu, beliau pernah nanya ke ana kenapa dulu ana bersikap berbeda kepada beliau dibandingkan dengan kepada teman yang lain. Kesalahpahaman itu karena sebenarnya ana menunjukkan sikap bahwa ana menghormati beliau. Cuma mungkin, menurut beliau cara yang ana pakai kurang tepat.
Mbak yang satunya lagi tidak berani ana ganggu karena beliau adalah mbak yang sangat polos bahkan terkesan lugu dan tidak tahu apa-apa. Awalnya kami kenal karena sama-sama penerima beasiswa dari pabrik rokok nomor satu di Indonesia yang sekarang dikuasai Zionis. Akhirnya setelah itu kami sempat dua kali sekelas. Yah, berkat keluguan dan kepolosan beliau itu ana tidak berani bercanda dengan beliau. Itu adalah kisah dulu, sekarang malah berani bercanda dengan beliau. Hehehe..., tapi insya Allah tetap syar’i.
Satu lagi akhwat yang ana kenal di kampus. Awalnya beliau muslimah biasa yang hanif. Basis keluarganya adalah salafi. Ana sebagai ketua kelas yang cukup sering tampil di depan kelas dan menguasai sedikit pengetahuan tentang Islam akhirnya sering ditanyai oleh beliau. Interaksinya lewat hape. Akhirnya malah jadi sering diskusi. Ketika itu beliau masih ikut mentoring kampus. Selain itu juga ikut kajian salafi di suatu tempat, hal itu ana ketahui dari koleksi kitab-kitab klasik beliau. Belakangan beliau keluar dari mentoring dan lebih memilih kajian salafinya karena tidak cocok dengan mentornya yang konon kurang punya kafaah syar’iyah. Ilmu agamanya cethek, begitu kurang lebih alasan beliau. Beberapa kali beliau ‘menyerang’ Imam Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb karena masalah bid’ah. Waktu itu ana juga belum terlalu paham dengan manhaj, ilmu fiqh dan aqidah Islam, jadi ana tidak dapat menjawab serangan-serangan tentang bid’ah tersebut. Akhirnya komuniasi kami terputus cukup lama.
Suatu hari di acara kajian di Markaz yang diisi Ustadz Herry Nurdi, ana melihat beliau hadir bersama teman sekelas kami yang lain. Kajian pada hari itu dihadiri oleh ikhwan dan akhwat kampus. Jumlahnya lumayan banyak karena ada ta’limat dari kaderisasi. Ikhwan di lantai bawah. Sementara akhwat di lantai atas. Sebagian besar muslimah yang hadir adalah kader akhwat dengan jilbab lebar. Sementara waktu itu beliau masih mengenakan jilbab belum lebarnya. Kajian berjalan lancar dan hari itu berlalu dengan kedamaian.
Malamnya sekitar jam sebelas (11.00 pm), tiba-tiba, mak bedhundhuk, beliau menelepon nomor ana. Dari seberang terdengar beliau menangis dalam sedu sedan. Ya jelas ana bingung. Untuk beberapa saat beliau tidak mampu mengungkapkan masalahnya. Ketika lebih tenang beliau mengutarakan kesedihan beliau dan kepengecutannya karena selama ini beliau sangat ingin memakai jilbab yang lebar tapi tidak terlaksana karena ketakutannya terhadap pandangan teman-temannya yang lain terhadap beliau. Banyak faktor yang menyebabkan beliau tidak segera berjilbab, terutama mengenai ketakutan beliau terhadap hal-hal negatif yang beliau bayangkan. Ana berjanji akan membantu beliau sebisa ana. Akhirnya ana berkonsultasi ke akhwat teman SMA ana yang dulu, diberi beberapa poin untuk menasehati beliau. Kalau tidak salah ada sepuluh poin, tapi yang ana berikan hanya satu poin saja....
Ketika ana ingin memberikan bantuan materiil, beliau menolak. Namun, akhirnya beliau meminta bantuan untuk mencarikan jilbab yang sesuai dengan keinginan beliau. Mencarinya tidak di sembarang tempat, tapi di Pasar Beringharjo Ngayogyakarta Hadiningrat. Padahal ana kuliah aja di Bintaro Tangerang. Akhirnya ketika mudik tiga bulanan, ana ngubek-ubek Pasar Beringharjo nyari jilbab pesenan. Kebayang kan bagaimana reaksi para pedagang yang umumnya ibu-ibu lihat ikhwan nyari jilbab? Mungkin si ikhwan sudah dapat hidayah buat berjilbab kali? Huhhhhh.... kalo bukan karena berbuat baik, pasti ana nggak mau. Malu....
Hasilnya? Ana tidak menemukan jilbab yang beliau maksudkan.
Hingga suatu hari kuliah, beliau memakai jilbab yang lebih lebar. Hmmfhh... ada perasaan lega di hati ana. Finally.
Pulang kuliah ana mengirim SMS pada beliau yang isinya ucapan terima kasih karena telah menyejukkan mata para mahasiswa dengan kibaran jilbab. Klise memang, tapi namanya juga orang ngasih semangat kan biasanya pakai kata-kata yang sulit dimengerti. SMS yang ana kirim tidak mendapat balasan.
Sekarang beliau masih mengikuti kajian salafi. Sesekali beliau mengingatkan dan meminta bantuan kalau ada kasus-kasus tertentu di kelas yang berhubungan dengan aqidah.
Kembali ke topik. Dari mengalami sendiri ( maksud ana pengalaman orang di sekitar ana) bagaimana susahnya untuk ‘sekedar’ memakai hijab secara sempurna itu, ana semakin merasa bahwa untuk memperoleh title akhwat itu tidak mudah. Bahkan sulit. Namun hal itu tidak mustahil.
Berbicara tentang akhwat maka yang paling kasat mata tentunya adalah masalah hijab. Media mengambil frase akhwat jilbabers sebagai simbol Islam, bukan ikhwan jenggotan. Cak Nun membuat puisi dengan judul ‘Lautan Jilbab’ bukan lautan peci. Pemerintah Turki memperjuangkan penggunaan jilbab di kampus bukan memperjuangkan sorban di kampus. Kehormatan ummat bagi akhwat yang mengenakan jilbab dengan sempurna.
Secara pribadi ana merasakan ketenangan (sakinah) ketika melihat akhwat berjilbab. Bukan dalam artian erotis (mawaddah) tapi dalam artian kedamaian melihat awal kebangkitan. Sungguh panasnya matahari di jalanan akan sirna oleh kesejukan gelombang ummahat berjilbab putih dalam barisan aksi menggendong anak-anak penerus generasi.
Sungguh, akhwat adalah sumber kebangkitan ummat. Di sinilah madrasah pertama bagi para mujahid dan syuhada’. Di sinilah terletak tanggung jawab pembinaan insan utama. Di sinilah terpatri simbol Islam. Di sinilah pusat perbaikan dan reformasi, bahkan revolusi. Di sinilah awal peradaban terbentuk. Di sinilah kehormatan ummat muslim. Betapa berat tanggung jawab yang harus dipikul akhwat, bahkan ikhwan pun belum tentu sanggup.
Dari dasar palung hati yang terdalam, dengan segala kerelaan dan keikhlasan ana memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada akhwat sejati. Jazakumullah khairan katsira karena telah memberikan kesejukan di atas bumi yang yang semakin panas. Lahirkanlah dan didiklah generasi penerus yang akan member bobot di atas bumi dengan ucapan La ilaha illallah!

Tidak ada komentar: